Skip to content

Wajah Batin

Kita tidak tahu kapan Tuhan Yesus datang, sama dengan kita juga tidak tahu kapan kita menjumpai ajal kita. Itu adalah keadaan yang benar-benar dahsyat. Kita tidak boleh anggap ringan dan remeh hal tersebut. Ketika seseorang ada di ujung maut, ia baru bisa mengerti bahwa semua persoalan hidup yang dialaminya ternyata kecil, tidak ada artinya. Apalagi kalau sudah ada di hadapan pengadilan Tuhan. Orang yang mampu mengerti atau menghayati hal ini adalah orang yang sungguh-sungguh telah memperkarakan kekekalannya. Ditambah lagi dengan pengalaman hidup dimana seseorang berkali-kali melihat orang ada di ujung maut, atau dirinya sendiri ada di ujung maut. Baru dia bisa mengerti bahwa ketika seseorang di ujung maut mendekati ajal, itu adalah situasi atau suasana yang sangat dahsyat dan mencekam. 

Lebih-lebih lagi kalau kemudian ada di hadapan takhta pengadilan Allah. Bahwa ternyata segala yang dilakukan selama hidup di dunia ini, diperhitungkan. Tetapi bersyukur bagi orang yang sudah jauh-jauh hari panik, dan mempersiapkan diri menghadapi keadaan itu, yaitu dengan berusaha untuk benar-benar hidup tidak bercacat, tidak bercela. Kata “suci,” kata “kudus” bukan menjadi sesuatu yang asing baginya, bukan pula sesuatu yang jauh, yang dipandang terlalu sakral sampai tidak tersentuh. Kata “suci,” kata “kudus” menjadi sesuatu yang sudah menyatu di dalam hidupnya. Memang sangat sakral, tapi tidak jauh. Itulah hidup hari-harinya. Ditambah lagi dengan keterlepasannya dari ikatan-ikatan dunia atau kesenangan-kesenangan dunia, membuat seseorang ketika ada di dalam kondisi sangat mencekam itu, dia tidak merasa itu sebagai situasi yang mencekam. 

Tidak berlebihan, justru itu adalah momentum atau saat yang dinanti; saat yang ditunggu-tunggu. Jika kita belum mencapai tahap seperti itu, berarti ada sesuatu yang masih salah atau belum tepat di dalam hidup kita. Ketika kita ada di pembaringan terakhir, seharusnya itulah saat yang kita tunggu-tunggu, karena pada saat itu Tuhan pasti akan mengutus malaikat-Nya menjemput kita. Dan ketika kita ada di hadapan pengadilan Allah, itu juga merupakan saat yang kita tunggu, sebab kita bisa melihat keadaan hidup yang sesungguhnya, yaitu jerih lelah perjuangan kita selama bertahun-tahun. Oleh sebab itu, kita harus jauh-jauh hari memiliki perasaan panik dan krisis ini. Supaya kita tidak melakukan kesalahan sekecil apa pun atau sehalus apa pun. 

Kita harus memiliki kegentaran yang benar dan tulus kepada Allah. Sehingga, bisa melihat hati kita seperti berkaca; bukan seperti kaca yang rusak atau berkabut, melainkan kaca yang bening. Kita bisa melihat seberapa wajah kita memiliki keelokan atau kecantikan. Kalau kita berusaha hidup sebersih-bersihnya, sesuci-sucinya, maka kita akan bisa melihat wajah batin kita jernih dan bersih. Dan ini harus terus diimbangi dengan perasaan takut akan Allah. Kalau melakukan kesalahan, kita akan sangat menyesal seakan-akan bisa merasakan luka dan sakit hati-Nya Tuhan. Coba kita jujur terhadap diri sendiri, apakah ada sesuatu di dalam hidup yang kita rasa bisa membahagiakan atau menyenangkan kita? Yang benar adalah bahwa hanya Tuhan yang menjadi kebahagiaan kita. 

Dan kalau Tuhan menjadi satu-satunya kebahagiaan kita, maka Tuhan akan membukakan mata pengertian kita untuk lebih mengerti apa yang bisa membahagiakan Dia. Kalau kita makin mengerti apa yang bisa membahagiakan hati Tuhan, kita akan diajar untuk berpikir seperti Dia berpikir. Tidak ada yang kita pikirkan yang bukan Allah pikirkan. Tidak ada proyek-proyek di dalam hidup kita selain pekerjaan Tuhan yang kita harus tunaikan. Tentu kita harus bekerja, mengurus rumah tangga, dan menunaikan semua tugas dan tanggung jawab hidup. Tetapi itu pun semua kita lakukan dalam rangka kita menyenangkan Tuhan. Dan bagaimana kita bisa menjalani hidup ini dengan segala kesibukannya, dan menjadikan semua kesibukan itu kesukaan hati Tuhan. 

Tentu kita tidak bisa menyukakan hati Tuhan di dalam kamar, berlutut berdoa sepanjang hari, atau di dalam gua meditasi atau semedi atau bertapa. Kita harus ada di dalam kesibukan hidup; studi, karier, mencari nafkah, berkeluarga, dan menunaikan semua tanggung jawab hidup sebagai anak, orangtua, pasangan hidup, dan lain sebagainya. Di dalam semuanya itu, kita mengerjakannya untuk Tuhan. Kita baru mengerti yang dikatakan oleh Paulus di 1 Korintus 10:31, “Baik kau makan atau minum atau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semua untuk kemuliaan Allah.” Barulah itu pemenuhan prinsip Filipi 1:21, “Bagiku hidup adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan.” 

Dengan demikian, hidup kita menjadi sangat indah. Kita akan memikirkan apa yang Allah pikirkan. Kita harus punya tekad yang kuat untuk hal ini. Tentu ini lewat proses panjang, tapi jangan sampai terlambat. Sedari jauh-jauh hari, kita sudah harus panik. Kalau kita sungguh-sungguh hidup sebersih-bersihnya, sesuci sucinya, dan melepaskan diri dari keterikatan dunia, Roh Kudus nanti yang akan memimpin kita. 

Kalau kita berusaha hidup sebersih-bersihnya, sesuci-sucinya, maka kita akan bisa melihat wajah batin kita jernih dan bersih.