Skip to content

Toleransi Tuhan

 

Dalam proses mencapai apa yang Tuhan kehendaki, dengan sabar-Nya Tuhan menuntun kita. Tapi toleransi Tuhan itu tidak selamanya, ada titik akhir, ada ujungnya. Ironis, banyak orang tidak mengerti hal ini, dan tidak merenungkan hal ini, sehingga mereka tidak berani mencapai target setinggi-tingginya untuk menghindarkan malapetaka. Ibarat seorang anak sekolah, ia mau mencapai ranking setinggi-tingginya, agar bisa mendapatkan beasiswa untuk jenjang berikutnya. Bagi seorang pedagang, ia mau mendapat untung sebanyak-banyaknya. Kalau dalam kompetisi di satu kedudukan, ia mau mencapai kedudukan setinggi-tingginya. 

Mengapa untuk Tuhan kita tidak berambisi untuk mencapai kesucian setinggi-tingginya, kekudusan setinggi-tingginya? Sehingga ketika di hadapan Tuhan benar-benar kita didapati tidak bercacat tidak bercela. Firman Tuhan mengatakan, “Supaya kamu didapati tidak bercacat tidak bercela pada waktu kedatangan Tuhan.” Tapi mendengar kata tidak bercacat tidak bercela, banyak orang sudah takut, dan ada suara di dalam hati, “Tidak mungkin, itu mustahil.” 

Kiranya Tuhan membuka pikiran kita, supaya kita serius. Di satu pihak, ada toleransi dari Tuhan. Tapi di dalam toleransi itu, kita harus mengerti target yang harus dicapai, yaitu kesucian hidup. Sebagaimana firman Tuhan katakan, “Tanpa kesucian, tidak seorang pun melihat Allah.” Di kitab Wahyu dikatakan, hanya orang-orang suci yang masuk kota Yerusalem. Tidak ada yang najis yang masuk kota Yerusalem. Namun Tuhan toleransi sekali, sabar menuntun kita. Di dalam Injil Matius 11:28-29, Tuhan berkata, “Aku lemah lembut, belajar pada-Ku,” artinya kita harus menjadi seperti Dia dan standar yang kita miliki adalah standar-Nya. 

Tapi sebagian besar orang tidak memedulikan standar yang harus dia capai, apalagi kalau sudah diarahkan untuk objek yang lain; mau punya rumah sebesar-besarnya, mobil semewah-mewahnya, uang sebanyak-banyaknya, berpenampilan secantik-cantiknya, jadi orang terhormat setinggi-tingginya. Jadi hari ini kita diingatkan bahwa ketika kita ada di hadapan takhta pengadilan Tuhan, Tuhan akan tegas sekali. Maka, selagi hari siang, selagi Tuhan masih beri kesempatan, jangan disia-siakan. Kita harus sungguh-sungguh terus bergerak untuk mencapai puncak kesucian, puncak keberkenanan di hadapan Tuhan, melekat dengan Tuhan, selekat-lekatnya. Jangan menganggap sepele. Bersyukur kalau dalam proses pendewasaan yang kita alami, Tuhan memberikan pukulan-pukulan yang menyadarkan kita. 

Jadi, betapa Tuhan sabar menuntun kita. Jatuh bangun, jatuh bangun, Tuhan tetap pikul kita, Tuhan tetap menanggung kita, luar biasa. Tapi toleransi Tuhan tidak berlanjut terus, ada titik di mana kalau terus-menerus, Roh Kudus didukakan, dipadamkan, dihujat, jadi sudah tidak ada lagi kesempatan orang itu berubah, itu mengerikan. Perhatikan, orang yang menghujat Roh Kudus itu bukan berarti lalu jadi bejat, meninggalkan gereja. Sebaliknya, ia masih ada di gereja, dia bisa jadi jemaat yang rajin, aktivis bahkan jadi pendeta, tapi ia menghujat Roh, dia tidak melakukan kehendak Allah. Makanya, hati-hati, kalau semua diformatkan di dalam nalar, tanpa bersentuhan dengan Roh Kudus, bahaya. Seseorang harus mengalami perjumpaan dengan Tuhan, sehingga Tuhan bukan hanya dinalar, melainkan Tuhan juga dijumpai. Kesucian bukan teori verbal yang menjadi kalimat-kalimat, namun kesucian itu dirasakan oleh tubuh, jiwa, dan rohnya, bukan di nalarnya semata-mata.

Kalau kita mendengar suara Tuhan, jangan menunda, sebab berarti kita tidak memberi kesempatan dengan cara menunda apa yang kita harus capai sekarang. Jadi, kalau kita mau menjadi orang yang berkenan, itu tidak boleh kita berpikir nanti. Mulai saat ini, selalu saat ini, bukan nanti. Walaupun kemudian kita harus berjuang untuk itu. Maka, kita minta Tuhan memberi kita kesempatan lagi, karena selama ini kita sudah menggunakan kesempatan dengan salah. Di situ kita memenjara diri kita, sebab waktu yang Tuhan berikan kepada kita begitu panjang telah kita sia-siakan. Dan kita harus menebus kesalahan itu. Jadi, kita tidak boleh memberi kesempatan atau waktu untuk kita bisa menunda. 

Jadi, kalau ada niat sesuatu yang buruk muncul, atau sesuatu yang bisa membuat kita salah, jangan lakukan. Harus senekat itu. Walaupun potensi dosa belum lenyap, kita harus mengondisi diri kita untuk dipaksa benar. Kita berani punya prinsip: “gerakan satu kata” (gasak), karena kita nekat. Padahal tidak mudah. Tapi karena kita memang mau nekat, satu kata pun jangan sampai kita ucapkan kalau itu tidak berkenan di hadapan Tuhan. Jadi, kesabaran Tuhan hari ini, jangan kita sia-siakan. Kalau kita mengasihi Tuhan, segera ambil keputusan untuk hidup kudus tak bercela, selalu menyenangkan hati-Nya, menghormati-Nya. Kalau tidak begitu, mau apa kita? Jangan menunggu ketegasan Allah di hadapan takhta pengadilan-Nya. Dalam toleransi Tuhan yang begitu besar, kesabaran, dan pengertian-Nya, kita manfaatkan untuk proses pendewasaan.