Jika kita dipenuhi Allah, maka pikiran dan perasaan Allah juga memenuhi kita. Seperti Tuhan Yesus menangisi jiwa-jiwa, demikian pula kita hari ini menangisi jiwa-jiwa. Pelayanan gereja bukan sekadar kegiatan agamani yang melestarikan keagamaan—dalam hal ini agama Kristen—melainkan harus menjadi usaha dari orang-orang yang telah mempertaruhkan nyawanya. Itulah sebabnya pelayanan tidak dimulai dari sejumlah uang, atau dari organisasi dan sistem manajemen, tapi dimulai dari hati yang diubahkan Tuhan, hati yang dibarui yang terus berproses untuk menjadi manusia Allah, sehingga bisa menghayati indahnya persekutuan dengan Tuhan, tapi juga bisa mengerti betapa dahsyatnya jika terpisah dari hadirat Allah.
Sehingga ketika Yesus berkata, “Seperti Bapa mengutus Aku, Aku mengutus kamu.” berarti kita bisa dipercayai untuk menjadi utusan Tuhan. Yang bukan hanya cakap berkhotbah, berorganisasi, atau punya uang untuk pelayanan gereja, melainkan memiliki hati yang mengasihi jiwa-jiwa seperti Bapa di surga, seperti Tuhan Yesus. Di sini perasaan Tuhan kita terjemahkan di dalam perasaan kita. Ini adalah pilihan; pilihan yang harus dimulai dari kerinduan untuk menjadi sempurna seperti Bapa atau serupa dengan Yesus. Tidak dimulai dari keinginan menjadi hamba Tuhan alias menjadi pendeta, lalu kita senang menyambut orang-orang seperti itu. Sebab akhirnya dilahirkan orang-orang yang hanya mencari nafkah atau yang tanpa kerja keras bisa mendapatkan nafkah.
Khususnya untuk para hamba Tuhan, mulailah kerinduanmu, bukan melayani Tuhan dalam bentuk kegiatan gereja, melainkan layani Tuhan dalam bentuk melayani perasaan-Nya. Melayani perasaan Tuhan dengan kesucian hidup dari menit ke menit. Mestinya sekolah teologi, sekolah Alkitab harus terfokus pada hal ini. Jika tidak, kita hanya melahirkan sarjana-sarjana yang mencari hidup, bukan memberi hidup. Orang-orang yang tidak rela menjadi korban, tapi makan korban. Maka betapa sulitnya membangun sekolah teologi yang benar, yang mempersiapkan orang-orang yang bisa menangis bersama Tuhan Yesus. Maka, temukan wajah Tuhan dan kenakan wajah Tuhan dalam hidupmu, baru kita bisa menangisi jiwa-jiwa.
Ketika kita berkorban—apakah itu waktu, tenaga, pikiran, uang—maka kita tidak merasa berkorban, tapi kita merasa sebagai kesukaan. Seperti yang Yesus lakukan ketika bertemu dengan perempuan Samaria di perigi Yakub dekat kota Sikhar dalam keletihan. Ketika murid-murid-Nya berkata, “Tuhan, mari kita makan.” Yesus berkata, “Ada rezeki pada-Ku yang tidak kamu kenal.” Rezeki yang tidak dikenal adalah jiwa yang harus diselamatkan. Yesus bisa mengesampingkan letih lapar dan lelah-Nya untuk menjumpai orang itu. Betapa indahnya punya perasaan seperti ini. Tidakkah kita rindu memiliki perasaan seperti ini? Ironis, banyak orang yang frekuensinya masih jauh. Mereka memikirkan karier, menantikan jabatan tinggi, dan kehormatan. Mereka pasti tidak bisa merasakan perasaan Tuhan. Namun ketika kita bertumbuh menjadi manusia Allah, memiliki pikiran dan perasaan Kristus, maka kita pasti terbeban seperti Yesus menangisi jiwa-jiwa.
Kalau kita dewasa, maka Roh Kudus pasti memimpin kita harus buat apa untuk pekerjaan Tuhan, tidak perlu ditantang-tantang. Kita harus punya kesadaran supaya pekerjaan Tuhan tidak dibangun dari permintaan pendeta mengumpulkan uang, tapi beban yang tulus mencintai Tuhan, sehingga uang kita cemerlang seperti emas di mata Allah. Darah kita tumpahkan, keringat kita curahkan untuk pekerjaan Tuhan. Ayo, kita mulai lagi, kita bangkit dari kesalahan. Betapa terhormatnya kita melayani Tuhan. Ingat, dimulai dari keselamatan kita sendiri dulu, kita harus bertumbuh, harus berubah, bisa menghayati indahnya bersekutu dengan Allah dan mengerti betapa mengerikan terpisah dari Allah itu, sehingga kita akan berjuang untuk menyelamatkan jiwa-jiwa. Kalau sampai kita bisa menyelamatkan jiwa, betapa luar biasa, tak ternilai. Tapi tidak banyak orang yang punya beban ini.
Apa ciri orang yang meratapi jiwa-jiwa? Kalau seseorang sungguh-sungguh melayani Tuhan, maka pasti ia tidak melukai siapa pun. Kalau orang masih suka melukai orang dengan perkataan atau sikap, pasti ada yang tidak beres. Dalam pelayanan pun pasti ada motif-motif yang salah dalam hidupnya. Jadi kalau orang tidak menyenangkan Tuhan dari menit ke menit, sulit dia bisa menyelamatkan jiwa. Pengenalan akan Allah yang dialami setiap pribadi, akan mengubah hidupnya menjadi serupa dengan Allah, punya pikiran dan perasaan Tuhan, menyenangkan Tuhan dari menit ke menit, sampai ia membawa jiwa ke hadapan Tuhan. Jadi kalau harta seluruh dunia dikumpulkan, tidak lebih dari nilai jiwa manusia, nilainya berapa? Nilainya adalah kesukaan hati Allah.
Namun tidak sedikit yang hanyut dengan masalah-masalah hidup yang kita hadapi; pekerjaan yang rumit, atasan yang galak, gaji yang tidak memadai, dan berbagai masalah lain yang membuat kita tidak melirik perasaan Tuhan, bahkan tidak peduli. Berarti kita punya ilah, punya berhala: masalah, pekerjaan, cita-cita, ambisi, dan berbagai kesenangan lain. Mengapa kita tidak hanyut di dalam Tuhan? Apa pun masalah kita, pandanglah Tuhan. Yang akhirnya kita pasti menjadi hamba-hamba Tuhan yang menyelamatkan jiwa. Dan kalau kita menjadi hamba-hamba Tuhan yang menyelamatkan jiwa, kita menjadi pegawai Tuhan. Dan kalau kita menjadi pegawai Tuhan, Tuhan tidak mungkin tidak memedulikan kita secara khusus.