Keselamatan bukanlah sekadar keyakinan masuk surga. Keselamatan adalah kepastian seseorang masuk surga. Apa bedanya “keyakinan” dan “kepastian?” “Keyakinan” lebih berorientasi pada pikiran atau nalar; “kepastian” berorientasi pada pengalaman konkret dalam kehidupan. Itulah sebabnya, keselamatan bukan hanya diyakini—tentu keyakinan harus ada—atau sekadar diuraikan menjadi pengetahuan yang dalam khazanah teologi dikenal sebagai soteriologi, namun haruslah merupakan pengalaman hidup nyata dari hari ke hari, yang dijalani orang percaya dengan tekun, sebab tidak mudah. Orang Kristen mula-mula belum memiliki Alkitab seperti kita, dan belum ada teolog-teolog hebat yang lulus dari sekolah tinggi teologi. Namun, mereka menjadi orang-orang percaya yang “sukses.” Ukuran kesuksesannya adalah ketika mereka disebut “Kristen” karena serupa dengan Kristus, bukan karena beragama Kristen atau karena berlimpah harta dan memiliki kedudukan. Jadi, suksesnya kekristenan adalah ketika seseorang serupa dengan Kristus, dan masyarakat mengakui itu. Bukan sekadar beragama Kristen, memakai kalung salib, atau nama yang bercirikan Kristen, melainkan perilaku seperti Kristus. Kita mau bicara apa? Mau bantah apalagi? Gereja mula-mula yang belum memiliki gedung seperti kita, belum memiliki anggaran dasar, tidak ada back up dana, tidak ada fundraising, pemimpinnya juga ditangkapi dan dibunuh, belum punya Alkitab—hanya parsial potongan surat-surat yang ada, tapi mereka sukses. Ini penting sekali.
Orang yang dapat berbicara tentang keselamatan, belum tentu mengalami dan memiliki keselamatan. Dalam hal ini, kita bisa mengerti, dan jangan bingung lagi mengapa banyak orang bisa berkhotbah dan ceramah mengenai keselamatan atau menulis buku mengenai keselamatan, tetapi hidupnya tidak menunjukkan keagungan sebagai anak Allah; tidak serupa dengan Kristus; tidak memancarkan keagungan anak Allah serupa Kristus. Biasanya memancarkan keagungan manusia yang tampak dari jas, baju, atau pakaian atribut seorang rohaniwan Kristen. Sejatinya, mereka belum menjadi Kristen. Kalau jujur lebih tegas, mereka belum selamat, karena tidak makin serupa dengan Kristus. Kristen sejati itu pasti serupa dengan Kristus. Pengalaman keselamatan itu harus dirasakan oleh diri sendiri dari waktu ke waktu, dan dapat dilihat, serta dirasakan orang di sekitarnya. Keselamatan itu bukan seperti teka-teki yang diselubungi pertanyaan, misteri, dan tidak jelas. Keselamatan itu sesuatu yang dapat diketahui, dirasakan dengan sangat jelas, yaitu kalau orang itu benar-benar mengalami dan memiliki keselamatan karena mengerjakan keselamatan itu. Orang itu sendiri merasakan, dan orang lain juga merasakan.
Orang yang mengalami dan mengerjakan keselamatan sehingga memiliki keselamatan, dapat menghayati bahwa keselamatan itu sebuah proses; ada dinamikanya. Dinamika pertumbuhan, dinamika progresivitas, dinamika perubahan dari seorang yang berkodrat dosa menjadi manusia yang berkodrat ilahi sesuai dengan rancangan Allah semula. Hal ini sebenarnya sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Sehebat apa pun seseorang dapat menjelaskan, hal ini harus dialami. Dari proses perubahan tersebut, seseorang barulah dapat memiliki kepastian masuk Kerajaan Surga. Dalam konteks Kristen, seseorang harus mengerti bagaimana dirinya berubah dan layak menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah. Keselamatan yang hanya diyakini adalah keselamatan yang tidak dikerjakan. Biasanya hanya dibicarakan, didefinisikan menjadi kalimat, didiskusikan, atau menjadi buku atau jurnal ilmiah. Biasanya, orang-orang seperti ini memahami keselamatan hanya sekadar terhindar dari neraka dan diperkenankan masuk surga, dimana mereka pun tidak memiliki kepastian masuk surga. Tetapi, keyakinan dalam pikiran dan berharap masuk surga. Mestinya untuk masalah yang sangat penting dalam kehidupan—ini masalah kekekalan—kita tidak boleh gambling. Keselamatan harus menjadi sesuatu yang pasti.
Paulus dalam tulisannya mengatakan, “Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya.” Ini pergumulan hidup Paulus dalam mengerjakan keselamatan, sehingga ada tanda-tanda kehidupan yang sudah dirasakan sejak di bumi sebagai suatu kepastian. Dalam Matius 5:20, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari hidup keagamaan ahli Taurat dan orang Farisi, kamu tidak masuk surga.” Kata “hidup kebenaranmu” itu teks aslinya adalah dikaiosunēs. Jadi, “mahkota kebenaran” menunjukkan kebenaran dalam perilaku. Hal ini menunjukkan bahwa Paulus sudah memenuhi kehidupan yang berkualitas perilakunya. Dalam hal ini, Paulus diakui oleh Allah sebagai “telah mengenakan kebenaran.” Kalau dia tidak mengenakan kebenaran, dia tidak layak memakai mahkota kebenaran. Tentu seorang sekelas Paulus sudah pantas mendapat pengakuan dari Bapa, “Ini anak-Ku yang Kukasihi, kepadanya Aku berkenan,” seperti pengakuan Bapa kepada Putra-Nya, Tuhan Yesus Kristus. Dan kalau kita ikut Tuhan Yesus, memiliki pikiran, perasaan Kristus, dan konsekuen mengenakan pikiran, perasaan Kristus dan konsisten, tidak bisa tidak, pengakuan itu juga pasti diterima oleh kita. Kita harus berambisi untuk ini. Harus serius. Sehingga kematian kita bermarbat.
Keselamatan yang hanya diyakini adalah keselamatan yang tidak dikerjakan.