Untuk bisa menang, pangkalan-pangkalan dosa harus dibuang. Kalau sudah tidak ada pangkalan, maka setan tidak bisa menjatuhkan. Ayo, kita mau mencabut semua pangkalan berbuat dosa, pangkalan manusia lama kita. Yang gampang tersinggung, justru bertemu orang yang melukai. Tidak ada kemenangan tanpa perjuangan. Setan itu tidak mudah dikalahkan. Setan itu licik. Dan setiap kita masih ada pangkalan. Maka, kita harus banyak berdoa dan dengar firman. Sehingga Iblis jadi tidak berkuasa. Jadi, kalau bicara soal sempurna, jangan kita bayangkan menjadi seperti Allah. Tidak bisa, bahkan seperti Yesus pun tidak bisa, karena pencobaan yang dialami Yesus berbeda dengan kita. Kalau Yesus 1000 kilogram, kita hanya 50 kilogram. Tapi yang 50 kilogram itu kita harus sanggup pikul.
Jadi, kalau kita melihat orang jatuh dalam dosa, jangan berkata, “Ya, begitu saja jatuh?” Karena kita belum tahu apa yang dia alami. Pencobaan masing-masing orang itu berbeda, sesuai dengan kapasitasnya. Yang diberi banyak, dituntut banyak; yang diberi sedikit, dituntut sedikit. Tapi, apa pun pencobaan yang kita hadapi, kita harus menang. Sebenarnya bicara soal kesempurnaan itu menyangkut dua aspek. Yang pertama, menyangkut usia rohani. Jadi, yang baru masuk Kristen dengan yang sudah menjadi Kristen selama 30 tahun, tentu beda pencobaannya. Yang kedua, porsi pencobaan yang berbeda-beda. Tapi harus menang, harus lulus. Jadi, kalau kita dihina, direndahkan, masih tersinggung, berarti belum lulus.
Maka, jangan mati dulu, karena kita belum lulus. Sebab ketika kita meninggal, maka keadaan kita hari ini adalah keadaan permanen. Artinya, waktu kita meninggal dunia, seberapa tingkat kualitas rohani kita, itulah yang kita bawa. Kalau nilai kita tujuh, ya tetap tujuh, tidak mungkin setelah mati berubah menjadi sembilan. Apa yang kita miliki hari itu, itulah nilai kita. Maka, tingkatkan sekarang selagi kita masih hidup. Masalahnya, berapa nilai kita sekarang? Untuk itu, kita tanyakan kepada Tuhan, “Tuhan, masihkah ada kesalahan dalam diriku?” Ketika kita masih belum dewasa rohani dan kita masih bisa melakukan kesalahan, Tuhan maklum. Tapi makin tua, makin dewasa, maka kita harus menjadi orang yang tidak bisa berbuat salah. Harus lulus.
Sejatinya, kesucian itu meliputi tiga hal. Yang pertama, menanggalkan semua pangkalan dosa atau topon; potensi dosa atau kodrat dosa dalam diri kita yang bisa dipancing kuasa gelap. Yang kedua, apa yang menjadi kebahagiaan atau kesenangan kita. Kalau Tuhan tidak menjadi satu-satunya kebahagiaan kita, pasti kita tidak berkenan di hadapan Allah. Yang ketiga, motivasi hidup. Seharusnya, motivasi hidup kita hanya sepenuhnya bagi Allah. Makanya, kita harus suci, tidak ada lagi perbuatan salah. Bukan hanya tidak melanggar moral, melainkan juga hal-hal yang tidak perlu, hal-hal sederhana harus presisi seperti pikiran perasaan Allah. Jangan terikat dunia lagi. Kita pulang tidak bawa apa-apa. Makin tua, bejana hati kita harus makin dikosongkan.
Kalau kita punya tiga hal ini, kita pasti masuk surga. Di surga, kita bukan hanya menjadi anggota masyarakat, tapi anggota keluarga Kerajaan Allah. Sempurna itu artinya lulus, menang, tidak bercacat tidak bercela. Setiap hari kita dilatih Tuhan untuk tidak bercacat dengan pencobaan-pencobaan yang kita hadapi. Jangan sampai kita tidak lulus, jangan kita gagal. Kita memilih apa yang benar di mata Tuhan, sehingga kita menjadi manusia yang benar-benar tidak bercacat di hadapan Allah. Allah menghendaki kita benar-benar sempurna seperti Bapa; artinya tidak berbuat salah. Setiap tindakan Allah Bapa itu presisi, tepat, akurat, tidak bercela. Demikian nanti ketika kita berdiri di hadapan takhta pengadilan Tuhan, kiranya kita tidak didapati bercacat cela.
Jangan salah mengerti, jangan salah tafsir. Ketika Tuhan Yesus berkata, “Hendaklah kamu sempurna seperti Bapa,” sebelumnya Tuhan Yesus menjelaskan mengenai hukum yang diberlakukan bagi orang beragama pada umumnya, dalam hal ini agama Yahudi, Yudaisme, dan perilaku, moralitas, standar etika yang dikenakan bagi anak-anak Allah; baru Tuhan Yesus berkata, seperti ini. Bukan hanya tidak membunuh, tapi juga tidak membenci. Kalau seseorang membunuh bisa ketahuan, bisa terbukti. Tapi kalau membenci, siapa yang tahu? Hanya Tuhan. Tapi kita harus sempurna seperti Bapa yang tidak punya kebencian. Maka ketika kita menghadapi suami yang kasar, jahat, bahkan KDRT, bagaimana bisa mengampuni? Berat sekali. Tapi kalau kita bisa melakukan itu, kita lulus, kita menang.