Ternyata, salah satu kunci dari kehidupan adalah kita tidak boleh optimis dalam memandang hidup yang didasarkan pada fasilitas dunia. Atau dengan kata yang lebih terus terang, kita harus pesimis terhadap dunia ini. Walaupun kita sukses dalam karir, memiliki rumah pribadi yang mewah, jumlah deposito yang besar, dan perusahaan yang terus berkembang serta profitnya semakin baik, itu tidak boleh dianggap sebagai jaminan yang membahagiakan. Optimisme adalah sikap atau keyakinan bahwa keadaan yang akan dihadapi di depan, akan menjadi lebih baik, berjalan sesuai dengan target sehingga sukses dan membahagiakan. Sebenarnya, tidak ada yang dapat membahagiakan kita berasal dari dunia ini, sebab pada akhirnya segala sesuatu yang kita miliki itu akan lenyap.
Jadi, kita harus berani mempersenjatai pikiran kita dengan hal ini. Sebab kalau tidak, kita tidak pernah menjadi rohani dan akibatnya dunia akan mewarnai kita. Apa pun yang bisa kita raih, apa pun yang bisa kita miliki, bukanlah sesuatu yang menjanjikan. Dan memang, pada umumnya orang mengisi hari-hari hidupnya dengan studi, karir, dan segala sesuatu itu agar memperoleh kebahagiaan. Sejatinya, semua itu tidak membawa kebahagiaan yang sesungguhnya. Mengapa? Alasannya ada tiga;
Yang pertama, setiap orang pasti mati.
Yang kedua, kita tidak tahu kapan waktunya.
Yang ketiga, ada rongga kosong dalam jiwa kita yang hanya bisa diisi oleh Tuhan.
Maka jangan berpikir kalau sudah punya rumah pribadi akan bahagia, kalau sudah punya mobil akan bahagia, kalau sudah punya jodoh akan lebih bahagia, kalau sudah punya anak akan lebih bahagia. Tidak! Namun bukan salah memiliki semua itu. Kalau kita memiliki segala sesuatu dalam hidup ini, semua ini kita persembahkan untuk kehidupan yang tidak terbatas nanti. Jadi, optimisme kita di Langit Baru Bumi Baru, bukan di bumi ini. Kalau optimisme kita di bumi ini, tidak bisa tidak, orang akan membangun kerajaannya di sini. Maka, untuk merubah cara berpikir seperti ini, tidak mudah. Sebab cara berpikir kita ini sudah diformat oleh dunia. Sehingga tidak bisa tidak, pikiran kita mengarah ke dunia hari ini. Dan akibatnya, dunia yang akan datang di balik kubur itu dipandang gelap gulita, tidak menentu, misteri dan mengerikan. Sejatinya, kalau kita mengaku percaya kepada Tuhan Yesus, kita harus percaya juga akan apa yang Tuhan katakan, “Di rumah Bapa-Ku ada banyak tempat tinggal.” Jadi kalau kita tidak menaruh harapan atas rumah yang dijanjikan Tuhan Yesus, berarti kita tidak percaya. Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi, Ia menciptakan semua dengan sangat sempurna. Sebuah dunia yang sangat ideal dihuni dan dinikmati. Tetapi di Kejadian 3, diceritakan bahwa manusia jatuh dalam dosa. Sehingga bumi tidak lagi menjadi tempat yang nyaman untuk dihuni. Dunia tidak lagi ideal, tidak menjanjikan. Alkitab mengatakan bumi terkutuk dan menghasilkan onak dan duri. Hal ini jelas mengisyaratkan bahwa dunia bukan tempat yang nyaman. Manusia akan berpeluh dalam mencari nafkah. Kemudian Tuhan merancang sesuatu di Kejadian 12. Allah memanggil satu nama yang akan menjadi bapa orang percaya, yaitu Abraham.
Di sini ada harapan baru, karena Abraham dipanggil untuk menemukan dunia baru (Ibr. 11:8 “Karena iman, Abraham taat ketika dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya. Lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui”). Semaju-majunya lembah Sumeria tempat Abraham berasal, yang mana di situ ada kota Ur, tidak ada artinya dibanding dengan negeri yang memiliki dasar dengan konsep yang direncanakan dan dibangun oleh Allah sendiri. Ini pasti sempurna, seperti ciptaan Allah semula. Sejak Abraham keluar dari Ur Kasdim, dia jadi orang asing di bumi den menjadi pengembara. Ayat selanjutnya mengatakan, “Sebab mereka yang berkata demikian menyatakan bahwa mereka dengan rindu mencari suatu tanah air. Dan kalau sekiranya dalam hal ini mereka ingat akan tanah asal yang telah mereka tinggalkan, maka mereka cukup mempunyai kesempatan untuk pulang ke situ. Tetapi sekarang mereka merindukan tanah air yang lebih baik, yaitu satu tanah air surgawi, sebab itu Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka.”
Allah tidak malu. Ini kata penting. Kenapa? Karena Abraham menunjukkan kelasnya sebagai seorang musafir yang seluruh hidupnya dipertaruhkan untuk ini. Tetapi kalau orang masih punya optimisme hidup wajar maka Allah malu. Artinya, Allah tidak mau mengakui. Namun banyak orang masih memiliki optimisme hidup di bumi ini, karena memang wajarnya begitu. Padahal, kalau kita optimis dengan dunia ini, berarti kita terikat dengan dunia ini. Oleh sebab itu, orang-orang yang pernah patah hati dengan dunia ini akan lebih bisa dibentuk.