Tuhan tidak memandang muka, tetapi Tuhan melihat perbuatan, dan tentu perbuatan yang lahir dari hati, karena Tuhan bukan hanya dapat menangkap apa yang kelihatan, melainkan juga yang tidak kelihatan, yaitu motivasi seseorang melakukan sesuatu. Tuhan menghendaki agar segala sesuatu yang kita lakukan didasarkan pada hati yang mengasihi dan menghormati Dia. Jadi bukan berapa banyak uang yang kita bisa berikan untuk gereja, bukan seberapa aktif kegiatan kita dalam pelayanan, bukan berapa kali kita bisa ke gereja dalam satu minggu, melainkan apakah segala sesuatu yang kita lakukan, sejak kita bangun tidur sampai kita kembali merebahkan tubuh kita di malam hari, kita melakukan segala sesuatu dengan hati yang mengasihi dan menghormati Dia?
Jadi, kalau Firman Tuhan mengatakan, “Baik kamu makan atau minum atau melakukan sesuatu yang lain, lakukan itu semua untuk kemuliaan Allah.” Artinya, segala sesuatu yang kita lakukan haruslah disertai dengan sikap hati yang menganggap, memandang, memperlakukan Tuhan itu mulia, berharga. Tentu sesuatu yang kita hargai, sesuatu yang kita pandang mulia, pasti kita cintai. Tidak mungkin seseorang mencintai sesuatu yang dia tidak pandang berharga, tidak mungkin seseorang mencintai sesuatu yang tidak dia pandang bernilai. Kita harus mengerti bahwa bisa mencintai Tuhan adalah suatu kehormatan. Jangan kita memandang hal mencintai Tuhan sebagai suatu beban, melainkan sebagai suatu kehormatan, dan mestinya kita sampai pada level di mana mencintai Tuhan itu merupakan kebutuhan batin kita, sampai kita tidak bisa tidak mencintai Tuhan.
Dalam 2 Korintus 11:2 dikatakan bahwa kita adalah perawan suci atau mempelai Kristus. Perawan suci di sini menunjuk kepada orang yang tidak ternoda, yang hatinya tidak terbelah, hatinya tidak mendua, hatinya utuh, bulat, tidak ada jurusan, arah, akses ke mana pun kecuali Tuhan. Sejatinya, kita memang tidak memiliki pilihan lain, kita harus mencapai level itu. Jadi, kita harus memaksa diri kita, karena dunia telah banyak mencuri hati kita, menciptakan selera di dalam diri kita. Tidak mudah menghapus percintaan dunia, tidak mudah menghapus selera yang sudah melekat di dalam diri kita ini. Tidak mudah bukan berarti tidak bisa, tergantung seberapa kita nekat, intens, giat, serius, terus-menerus untuk mengarahkan diri kita kepada Tuhan.
Kita hanya memiliki kesempatan tidak lebih dari 100 tahun. Dan jika dibandingkan dengan kekekalan, tidak ada artinya. Namun di 100 tahun umur hidup kita ini, kita bisa membangun sebuah relasi dengan Tuhan, sampai hati kita terikat kepada-Nya, selera jiwa kita tertuju hanya kepada Tuhan. Kita menjadikan Tuhan kekasih jiwa kita, dan tentu Tuhan menjadikan kita kekasih-Nya, dan itu yang membahagiakan hati Tuhan. Yang berjuang, belum tentu mudah mencapainya. Kalau tidak berjuang, tidak akan bisa mencapainya. Kalau seorang pelayan Tuhan, seorang hamba Tuhan, seorang pembicara, seorang worship leader tidak sampai puncak mencintai Tuhan, maka dia tidak bisa menularkan hati yang mencintai Tuhan. Ia tidak bisa membuat atmosfer hati yang pecah di hadapan Allah.
Sadarilah, kalau kita bisa mengenal Allah yang benar, itu adalah anugerah. Sebab tidak semua orang menjadi umat pilihan. Namun kita boleh mengenal Allah yang benar, dan Allah yang benar itu hanya satu, Elohim Yahweh, yang menyatakan diri sebagai Allah Abraham, Ishak, dan Yakub. Maka, temukan Dia, temui Dia, alami Dia, dan pecahkan hati kita untuk mencintai Dia. Jangan kehilangan kesempatan yang setitik ini untuk kekekalan kita. Orang yang sungguh-sungguh mengalami perjumpaan dengan Tuhan, pasti hatinya pecah di hadapan Allah, dan tidak mungkin karakternya buruk. Sebaliknya, tidak mungkin seseorang bisa bersekutu dengan Tuhan kalau karakternya buruk.
Maka, kita harus bisa membedakan hal yang kompleks, rumit, dan muskil dengan yang tidak rumit. Jangan hal yang tidak rumit kita jadikan rumit; dan hal yang mestinya kompleks atau rumit, kita tidak anggap itu kompleks. Hal pemenuhan kebutuhan jasmani itu relatif; tidak kompleks. Tapi yang kompleks adalah bagaimana menjadi manusia yang agung, yang luhur. Setan membuat banyak orang fokus kepada apa yang sebenarnya bukan kompleks, tapi dianggap kompleks, dianggap rumit. Dan tanpa disadari, para hamba Tuhan menarik Tuhan masuk ke dalam masalah yang tidak kompleks tersebut, yang mestinya tanpa campur tangan Tuhan pun—asal dia bertanggung jawab—dapat diselesaikan. Tuhan dengan hukum-Nya akan memenuhi, karena Tuhan punya hukum: “Yang kamu tabur, kamu tuai.” Campur tangan Tuhan ada di dalam hukum-Nya, bukan campur tangan Tuhan yang merusak tatanan-Nya.