Kalau jujur, tidak sedikit orang yang gentar, takut menghadapi realitas dunia yang semakin jahat dan rusak. Memang, di sisi lain, ada orang-orang yang tidak takut, lalu menjadi ceroboh atau sembrono dalam hidup. Tetapi kalau orang menyaksikan penderitaan orang lain, benar-benar menakutkan. Sebab bagaimanapun, dalam menghadapi wabah penyakit, misalnya, manusia terbukti rentan, karena yang dihadapi tidak kelihatan, dan begitu mudah orang bisa terpapar. Pasti banyak orang takut menghadapinya, termasuk di dalamnya orang-orang Kristen. Namun dengan adanya wabah penyakit dan bencana alam, hal ini membuka mata kita dan memberi kesadaran betapa rentannya manusia.
Maka pertanyaan yang mau kita persoalkan pada kesempatan ini adalah: bagaimana kita bersikap dalam menghadapi keadaan dunia yang jahat dan rusak ini? Bagaimana kita memiliki keteguhan hati dan keberanian dalam menghadapi semua kesulitan hidup? Tuhan Yesus berkata dalam Matius 10:28, “Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.” Dalam Lukas 12:4 juga sama, “Aku berkata kepadamu, hai sahabat-sahabat-Ku, janganlah kamu takut terhadap mereka yang dapat membunuh tubuh dan kemudian tidak dapat berbuat apa-apa lagi.”
Dua hal yang penting di sini adalah: Tuhan Yesus memanggil kita dengan kata “sahabat-Ku” dan kalimat “mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi.” Masalah — sakit penyakit, bencana alam, dan lainnya — hanya bisa membunuh tubuh, tapi tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kalau kita melihat konteks Matius dan Lukas ini, kita melihat ini juga terkait dengan kekhawatiran.
Selanjutnya, dalam Matius 10:29–30 Tuhan berkata, “Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekor pun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. Dan kamu, rambut kepalamu pun terhitung semuanya.” Seduit itu mata uang paling kecil. Dua ekor seduit, jadi murah sekali burung pipit itu. Sebenarnya kalimat ini memiliki pengertian bahwa rambut kepala ditandai setiap lembarnya. Apakah kita pernah berpikir bahwa satu lembar pun kita tidak bisa menciptakannya? Allah yang menciptakan rambut kita.
Matius 10:31–33, “Sebab itu janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga daripada banyak burung pipit. Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga.”
Kalau kita melihat konteksnya, sebenarnya ini sedang berbicara tentang penganiayaan. Bagaimana orang percaya waktu itu harus berani mempertaruhkan nyawa demi imannya, di mana kematian tidak ditakuti demi imannya. Dari ini, kita bisa memetik satu pelajaran, bahwa kita ini sangat berharga di mata Tuhan. Burung pipit dapat dua ekor dengan seduit, jadi betapa murahnya burung pipit itu. Tetapi burung pipit itu berharga. Kalau dikatakan di sini, “Namun seekor pun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu.” Apalagi kita. Rambut satu lembar pun ditandai. Jadi, begitu perhatian dan kasihnya Tuhan kepada kita. Jadi, jangan ragukan kasih Tuhan dan pemeliharaan-Nya.
Mengutip Mazmur 91:5–8, pemazmur menulis, “Engkau tak usah takut terhadap kedahsyatan malam, terhadap panah yang terbang di waktu siang, terhadap penyakit sampar yang berjalan di dalam gelap, terhadap penyakit menular yang mengamuk di waktu petang. Walau seribu orang rebah di sisimu, dan sepuluh ribu di sebelah kananmu, tetapi itu tidak akan menimpamu. Engkau hanya menontonnya dengan matamu sendiri dan melihat pembalasan terhadap orang-orang fasik.”
Tuhan memberikan pemeliharaan yang sempurna kepada kita. Namun ingat, bagi umat Perjanjian Baru, orientasinya adalah berkat kekal. Jadi bukan masalah apakah kita kena penyakit atau tidak; tidak masalah Anda kaya atau miskin; punya anak atau tidak. Keadaan lahiriah jasmani kita tidak bisa menjadi ukuran perkenanan di hadapan Allah atau keberkatan-Nya di hadapan Allah. Kita harus hidup bertanggung jawab dengan sebaik-baiknya, karena itu bagian kita yang harus dipenuhi, hal yang di luar kemampuan dan kesanggupan kita, Tuhan yang akan menopang.