Sejatinya, kekristenan tidak memiliki padanan dengan kepercayaan atau agama mana pun. Kekristenan bukanlah agama, melainkan jalan hidup. Jika kita mengaku orang Kristen, berarti kita mengaku percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Dan seperti yang dikatakan dalam surat Yohanes, kita wajib hidup sama seperti Dia telah hidup. Kekristenan adalah pergumulan untuk menghidupi kehidupan yang pernah Tuhan Yesus jalani 2.000 tahun yang lalu di dalam hidup kita hari ini. Inilah hal yang terberat. Kita tidak bisa disebut orang Kristen bila tidak menghidupi kehidupan Yesus yang pernah Dia jalani 2.000 tahun lalu di dalam diri kita.
Inilah yang membuat hidup orang Kristen terlihat “tidak wajar” di mata manusia pada umumnya. “Tidak wajar” di sini bukan berarti aneh, sebab secara penampilan lahiriah kita sama. Tetapi cara berpikir, arah hidup, dan fokus kita berbeda. Semakin kita mengerti Injil, semakin kita menyadari banyak kesalahan dalam hidup kita. Kesalahan yang dimaksud bukanlah pelanggaran moral umum. Sebab tentu kita tidak boleh melanggar hukum moral. Secara moral, kita harus hidup benar: jujur, tidak membunuh, setia kepada pasangan, tidak berzinah, menghormati orang tua. Kalau standar moral umum saja tidak terpenuhi, itu “kartu mati.” Jangan bicara soal Kristen; menjadi manusia beragama pun tidak layak.
Jadi, kesalahan yang disadari bukan pelanggaran moral umum, melainkan cara berpikir dan gaya hidup yang ternyata belum sesuai dengan kehendak Allah. Dan betapa sulitnya mengubah itu, karena sudah menyatu dalam hidup kita. Maka kita harus terobsesi, bukan untuk hidup wajar seperti manusia pada umumnya, melainkan untuk menghidupi kehidupan Yesus di dalam diri kita.
Pada umumnya, orang hidup dalam kewajaran: sekolah, kuliah, bekerja, berbisnis, menikah, membesarkan anak, mencari menantu, menimang cucu, dan seterusnya. Seakan-akan itulah isi hidup yang harus dijalani dan dinikmati seindah-indahnya. Agama pun kemudian melegitimasi kewajaran ini, bahkan menambahkannya dengan janji berkat dari Tuhan. Hidup wajar itu dihiasi: kekayaan bertambah, kesenangan ditingkatkan, perjalanan wisata diperluas, barang-barang bermerek dikoleksi. Bukan salah memiliki barang bermerek. Tetapi jika itu menjadi sumber kebahagiaan hati dan ukuran nilai diri, berarti kita bukan anak-anak Allah. Kehidupan seperti ini terkunci dalam kewajaran. Musuh terselubung kehidupan kekristenan adalah hidup dalam kewajaran semacam itu.
Tidak heran bila banyak pengkhotbah mulai mengangkat kehidupan bangsa Israel seakan bisa dijadikan standar orang Kristen. Bagaimana Tuhan memelihara bangsa Israel secara jasmani, itulah yang dianggap sebagai pola pemeliharaan orang Kristen. Mukjizat Laut Teberau, runtuhnya tembok Yerikho, turunnya manna—semua disejajarkan dengan mukjizat Yesus, lalu disimpulkan bahwa orang Kristen seharusnya menikmati berkat jasmani yang sama. Padahal kekristenan bukanlah demikian. Kalaupun Tuhan membuat mukjizat, itu bukan tujuan. Mukjizat adalah tanda (semeion) yang menunjukkan arah, petunjuk ke mana Tuhan hendak membawa kita: kepada kehidupan Yesus sendiri.
Ironisnya, sebagian besar gereja hari ini, khususnya gereja-gereja kharismatik, mengajarkan seperti bangsa Israel yang masuk tanah Kanaan: mengelilingi tanah tetangga untuk memilikinya. Doa Yabes, yang sebenarnya tidak berlaku bagi orang Kristen, malah dijadikan pola doa. Padahal yang harus diajarkan adalah Doa Bapa Kami—doa yang langsung diajarkan oleh Yesus. Kekayaan bangsa-bangsa yang dijanjikan Bapa kepada Israel dipaksakan berlaku bagi orang Kristen. Semua ini adalah penyimpangan yang justru membuat orang Kristen terjebak, stagnan, dan berhenti dalam pola pikir kewajaran anak dunia.