Ketika Tuhan Yesus berkata, “Kamu adalah terang dunia,” sebenarnya secara tidak langsung, Tuhan Yesus mau berkata, “Bersinarlah.” Tentu kita tahu bahwa menjadi terang artinya melalui perbuatan kita yang baik, Bapa di surga dimuliakan. Tetapi, jangan keliru, sebab ini bukan bermaksud kita berpura-pura berbuat baik supaya nama Bapa di surga dimuliakan. Dan secara implisit, Tuhan Yesus mau mengatakan, “Berubahlah kamu dari kehidupan yang tidak bercahaya menjadi seorang yang bercahaya.” Mengingat apa yang dikatakan Tuhan Yesus, “Seperti Bapa mengutus Aku, sekarang Aku mengutus kamu” berarti tugas penyelamatan atas dunia ini dipercayakan kepada pengikut Yesus.
Tuhan sudah naik ke surga, dan kita menggantikan tugas penyelamatan atas dunia ini. Maka, terang yang harus kita pancarkan haruslah terang seperti yang Yesus pancarkan. Jadi, Ketika kita berkata, ‘saya mau iring Yesus,’ itu bukan sekadar menjadi Kristen dan bergereja. Tetapi bagaimana mengikuti jejak-Nya, menyerap hidup-Nya seperti yang Yesus katakan: “Darah-Ku benar-benar minuman, tubuh-Ku benar-benar makanan. Makan tubuh-Ku, minum darah-Ku.” Artinya, kita mengenakan hidup-Nya. Jadi, tidak berlebihan kalau Paulus mengatakan, “Hidupku bukan aku lagi, tapi Kristus yang hidup di dalam aku.”
Kita mewakili Tuhan Yesus. Yesus mewakili Bapa. Setelah Yesus ke surga, kita mewakili Yesus. Tongkat estafet telah diberikan kepada kita. Terang yang dimaksud di sini adalah kehidupan seperti kehidupan yang diperagakan Yesus. Dan itulah sebabnya kita disebut Kristen, artinya ‘to be like Christ’ (seperti Kristus). Terang di sini harus menjadi kodrat, natur kita. Oleh sebab itu, untuk menjadi terang dunia, bukan hanya belajar etika, budi pekerti, perilaku yang baik. Itu agama, namun kekristenan bukan agama, melainkan jalan hidup. Ini perjalanan panjang, bukan perjalanan 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun, bukan juga 10, 15, 20, 30 tahun. Ini perjalanan panjang seiring dengan perjalanan hidup kita mengiring Yesus.
Terang kita bertambah dari 5, 10, 50, sampai menakjubkan. Di dalam 1 Petrus 2:9 firman Tuhan mengatakan, “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan Tuhan, memancarkan terang Tuhan, terang yang menakjubkan.” Kalau kita berbuat baik, banyak orang beragama berbuat baik; bahkan bisa lebih baik. Kalau kita beretika, banyak orang beragama beretika. Kalau kita memiliki kesantunan, banyak orang di luar gereja punya kesantunan.
Maka, menjadi terang tidak cukup berbuat baik—apalagi kalau cuma berpura-pura menjadi orang baik—tapi perubahan natur, perubahan kodrat dari kodrat dosa/sinful nature menjadi berkodrat ilahi/divine nature (kodrat Allah). Itulah sebabnya gereja tidak boleh hanya menjadi tempat kita berliturgi dan melakukan kegiatan agama. Gereja harus mengajar kebenaran seperti yang dikatakan Tuhan Yesus, “Kalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar murid-Ku, kamu akan mengenal kebenaran, dan kebenaran akan memerdekakan kamu.” Setiap firman yang disampaikan harus mencerdaskan pikiran, sehingga jemaat memiliki yang namanya kecerdasan rohani atau spiritual quotient (kecerdasan rohani).
Bukan hanya membuat kita baik, namun membuat kita keluar dari cara hidup yang kita warisi dari nenek moyang, lalu mengenakan cara hidup anak-anak Allah. Menjadi anak-anak Allah itu bukan hanya status, melainkan berkodrat, berkeadaan sebagai anak-anak Allah. Dengan kecerdasan rohani ini, seseorang bukan hanya tahu apa yang baik, melainkan juga yang berkenan dan yang sempurna (Rm. 12:2). Bukan hanya tidak melanggar hukum, sebab kalau hanya tidak melanggar hukum, banyak orang di luar gereja yang taat hukum. Tetapi dalam segala hal yang kita lakukan, kita bisa sepikiran dan seperasaan dengan Allah (Flp. 2:5-7).
Jangan sampai kita berhenti di titik yang disebut point of no return (titik tidak balik), dimana kita tidak pernah bisa menjadi baik sampai tua, tidak pernah menjadi sempurna seperti Bapa. Padahal firman Tuhan mengatakan, “kamu harus sempurna seperti Bapa di surga.” Kita bukan sudah sempurna, tapi kita mengerti bagaimana kita berbenah diri sehingga hidup kita itu otomatis memancarkan terang. Dan ingat, terang membuat sesuatu nyata. Apakah biru, merah, kuning, hitam, nyata melalui hidup kita. Sehingga hidup kita menjadi model dengan mana orang membentuk atau membangun dirinya.
Menjadi terang tidak cukup berbuat baik—apalagi kalau cuma berpura-pura menjadi orang baik—tapi perubahan kodrat dari kodrat dosa menjadi kodrat ilahi.