Kualitas iman seseorang tidak ditentukan oleh keyakinannya terhadap kuasa Allah yang dapat dialami secara fenomenal. Banyak orang percaya tidak hanya yakin bahwa Allah Maha Kuasa, tetapi juga beranggapan bahwa kuasa-Nya pasti akan dinyatakan dalam hidup mereka. Keyakinan ini sering kali berkembang menjadi sikap yang secara tidak sadar hendak “mengatur” Allah. Nama Yesus, yang seharusnya dimuliakan dan dihormati, justru dijadikan formula magis untuk memaksakan kehendak manusia kepada Tuhan: “Dalam nama Yesus, Tuhan pasti menjawab doaku.” Pemahaman seperti ini keliru secara teologis. Ia mereduksi iman menjadi transaksi spiritual, di mana Allah harus bertindak sesuai dengan harapan manusia. Kualitas iman sejati tidak terletak pada harapan akan manifestasi kuasa, tetapi pada kesediaan menerima kenyataan hidup tanpa menuntut Allah bertindak sesuai kehendak pribadi.
Sering kali, pengalaman spektakuler yang dijadikan “kesaksian iman” justru menjadi alat pembenaran diri — untuk tampil lebih rohani, lebih dekat dengan Tuhan, lebih istimewa. Apabila pendeta juga mendorong pola ini, maka terbangunlah citra semu tentang kekristenan yang sejati, yang hanya menyesatkan umat. Akibatnya, jemaat melihat Allah sebagai sosok diskriminatif, seolah lebih berpihak kepada pemimpin gereja atau orang-orang tertentu. Pola pikir ini sangat merusak dan menyimpang dari Injil. Iman yang sejati justru teruji ketika seseorang bersedia menerima segala situasi — termasuk penderitaan dan ketiadaan pertolongan — tanpa kehilangan kepercayaannya kepada Allah. Contoh tertinggi dari iman ini adalah Yesus Kristus sendiri. Di kayu salib, ketika berseru, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?” — suatu seruan yang mencerminkan keterpisahan dari Bapa — Tuhan Yesus tetap mempercayakan nyawa-Nya kepada Bapa. Dia tidak menarik kembali ketaatan-Nya, justru dengan penderitaan itulah Bapa dipermuliakan.
Inilah standar iman yang murni: “Tuhan, apa pun yang kualami, terserah, asalkan Engkau dipermuliakan.” Sayangnya, bentuk keberanian iman seperti ini sangat langka dalam kekristenan modern. Salah satu penyebabnya adalah pembinaan rohani yang keliru, serta pemberitaan Injil yang lebih menekankan pada “iman yang menuntut mukjizat”, bukan iman yang tunduk pada kehendak Allah. Jargon seperti “masih ada mukjizat” sering kali membentuk umat yang hanya percaya jika ada keajaiban. Akibatnya, mereka lebih percaya pada kuasa Allah daripada pada Pribadi-Nya. Padahal, iman sejati bukan hanya berharap pada kuasa Allah, tetapi terlebih dahulu mencari pengertian akan kehendak-Nya, lalu tunduk pada kehendak itu demi kemuliaan nama-Nya dan kesukaan hati-Nya. Esensi kehidupan orang percaya terletak pada upaya menyenangkan hati Bapa. Satu-satunya “masalah” orang Kristen adalah bagaimana menyukakan Allah. Dalam keadaan apa pun — apakah Tuhan menolong atau tidak, apakah mukjizat terjadi atau tidak — yang penting adalah: “Aku menyukakan-Mu.”
Kesalahan lain yang umum terjadi adalah melihat tindakan Allah hanya dari perspektif kebutuhan manusia, bukan dari sudut pandang Allah sendiri. Dalam Perjanjian Lama, tindakan-tindakan mukjizat yang Allah lakukan memiliki latar belakang dan tujuan yang jelas: semuanya bermuara pada pemenuhan rencana-Nya. Misalnya, pembebasan Israel dari Mesir menuju Kanaan bukan sekadar untuk kesejahteraan umat, tetapi agar Mesias dapat lahir di tanah perjanjian. Begitu pula mukjizat yang Yesus lakukan dalam pelayanan-Nya bertujuan sebagai tanda agar orang percaya kepada-Nya — bukan sebagai sarana pemuasan kebutuhan hidup. Tapi bagi kita yang sudah ada di gereja, sudah tidak perlu tanda sebab kita percaya Allah itu hidup. Yang kita lakukan sekarang, berjuang mengerti kehendak Allah.
Jadi, akhirnya memang hidup kita hanya untuk melakukan kehendak Allah, seperti Yesus. Dan percaya kita teruji pada waktu kita menghadapi sesuatu yang membuat kita dapat berkhianat kepada Yesus, tapi kita tetap percaya. Umat Kristen abad mula-mula menunjukkan keteguhan ini — mereka memilih tetap setia kepada Kristus meskipun dianiaya hebat. Hari ini, tantangan kita berbeda, namun tidak lebih ringan: cinta dunia, kenikmatan daging, seksualitas bebas, kemewahan, dan haus akan penghormatan manusia. Jika dalam godaan ini kita tetap memilih untuk mengasihi Tuhan, maka barulah iman kita terbukti.
Jangan karena tidak ada aniaya seperti orang Kristen abad mula-mula berarti kita tidak ada tantangan. Justru tantangan yang kita hadapi hari ini lebih besar. Dan menjadi masalahnya juga, ketika kita berusaha hidup suci, berusaha mencintai Tuhan, tidak mencintai dunia, fokus pada langit baru bumi baru, namun keadaan kita sama seperti yang yang tidak berusaha — bahkan lebih buruk. Dan kadang-kadang Tuhan membawa kita kepada situasi dimana kita terpuruk, bisa dipermalukan, sehingga timbul pertanyaan dalam hati, “mengapa saya tidak diistimewakan Tuhan?” Tapi kalau kita tetap berkata, “Aku percaya kepada-Mu,” itu baru percaya yang luar biasa.