Skip to content

Tanpa Batas

Tuhan Yesus belajar taat dari apa yang diderita-Nya. Setelah Dia mencapai kesempurnaan, Dia menjadi pokok keselamatan. Menjadi Penggubah, menjadi contoh atau teladan bagi kita. Jadi, kita bisa hidup seperti Dia hidup, sebab memang Tuhan Yesus naik ke surga supaya pekerjaan-Nya kita teruskan. “Seperti Bapa mengutus Aku, Aku mengutus kamu.” Tongkat estafet yang Yesus terima dari Bapa, diberikan kepada kita. Tentu kita yang mengikuti jejak Tuhan Yesus, yang mau hidup di dalam kesucian Bapa dan terus belajar untuk memiliki pikiran, perasaan Tuhan. Tuhan tampil di gelanggang dunia ini melalui dan di dalam hidup kita. Kita perwakilan-Nya. Karenanya, Tuhan Yesus mengatakan: “mereka menolak kamu, mereka menolak Aku.” Kita representative, ambasador-Nya; utusan, menjadi surat yang terbuka untuk menyampaikan pesan-pesan Allah kepada dunia. Inilah yang dimaksud dengan prestasi kekal, prestasi abadi yang harus dipergumulkan dan diperjuangkan. 

Banyak orang mengisi tahun-tahun umur hidupnya dengan perjuangan demi karier, pangkat, kedudukan, gelar, popularitas, harta, yang itu dianggap sebagai prestasi. Dan tentunya orang berpikir dengan prestasi itu, ia menjadi bernilai, berharga dan bahagia. Padahal semua itu lenyap sekejap, seperti uap. Pada umumnya kita telah disesatkan, sehingga kita telah terbawa oleh irama dunia. Bersyukur, kita mendengar kebenaran ini. Kita ditarik untuk keluar dari irama yang salah. Kita mau memperjuangkan prestasi yang memiliki nilai kekal; prestasi abadi. 

Kalau suatu hari kita melihat kemuliaan Allah dan memandang kekekalan yang dahsyat, kita akan sangat menyesal sekali. Kita bisa merasakan, menghayati betapa singkatnya waktu yang Tuhan berikan, 70-90 tahun kalau dibandingkan dengan kekekalan, tidak ada artinya. Tetapi kalau kita mengisi tahun-tahun hidup untuk mencapai prestasi abadi; yang sama dengan mengumpulkan harta di surga, kita tidak pernah menyesal. Hidup jadi mengasyikkan. Doa kita adalah “Tuhan, jadikan hidupku bernilai bagi Kerajaan Allah. Sekecil apa pun, buat hidupku berguna, berperan dalam pekerjaan-Mu.” Kata “sekecil” bukan berarti mau memberikan sekecil-kecilnya, melainkan memberi tanpa batas apa yang kita miliki, yang berperan bagi pekerjaan Tuhan. Sekecil apa pun, tetapi merupakan seluruh hidup tanpa batas. 

Kita harus keluar dari irama yang salah, yang menyesatkan semua manusia. Kita ikut jejak Tuhan Yesus yang hidup-Nya benar-benar hanya difokuskan kepada Bapa dengan kalimat: “makanan-Ku melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” Tuhan berbicara mengenai kekayaan kekal di Lukas 12:20 dan 21, “tetapi firman Allah kepada orang kaya itu,” yang sibuk mengumpulkan harta di bumi, “Hai, engkau orang bodoh.” Padahal orang ini bisa dianggap konglomerat kalau di zaman kita, sebab begitu banyak miliknya dan asetnya sehingga harus menambah gudang. 

Dia berkata, “hai, jiwaku, tenanglah, senangkan dirimu.” Gandum itu tidak terkait dengan jiwa. Kalau perut diisi nasi, jiwa tidak bisa diisi roti. Jiwa kita hanya bisa diisi Tuhan, bukan makanan. Tetapi banyak orang tidak mengerti. Ini seperti orang bodoh. Orang ini kaya dan sukses. Kalau di zaman ini, pasti dihormati oleh masyarakat, para konglomerat, orang-orang kaya, dan dihormati oleh pejabat-pejabat karena bisa menjadi ATM. Lalu juga dihormati oleh pendeta-pendeta. Terapi kita tidak boleh begitu. Itu melukai hati Tuhan. Semua kita berdiri sama tinggi, duduk sama rendah; anak-anak Allah. 

Konglomerat ini, dia merasakan dan berkata: “hai, jiwaku. Banyak harta, senangkan dirimu, tertimbun bertahun-tahun.” Lalu firman Tuhan mengatakan: “Hai, kamu orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kau sediakan, untuk siapakah itu nanti?” Anak cucu punya rezekinya sendiri, tetapi kita punya tanggung jawab untuk orang yang menjadi bagian kita, yang kepadanya kita harus pecahkan roti dan curahkan anggur. 

Apakah tidak boleh mewariskan kekayaan ke anak-anak? Harus. Berilah warisan pendidikan. Kalau ada harta, berilah warisan harta, perusahaan dan lain-lain. Tetapi satu ini, harus kita wariskan: takut akan Allah. Sebab kalau tidak, maka pendidikan, gelar, harta, uang, menjadi kutuk dan laknat. Lalu ayat 21, “demikian jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah.” Jangan takut kalau berbuat baik lalu orang berkata, “dia tebar pesona.” Nanti di surga, di kekekalan, baru dibuka semua rahasia. 

Jika memang tebar pesona dengan berbuat baik, kita akan dipermalukan. Itu tidak ada artinya. Kita berbuat baik bukan untuk membeli orang demi kepentingan kita. Biar dia berhutang kebaikan, lalu kita arahkan dia ke Tuhan. Nanti di kekekalan baru terbuka. Kalau kita berbuat baik, kita membeli orang itu untuk Tuhan. Karena firman Tuhan mengatakan: “mereka melihat perbuatanmu dan memuliakan Bapa.” Pasti kebaikan kita akan menggiring orang kepada kekekalan. Jadi, “jangan jemu-jemu berbuat baik,” kata firman Tuhan. Kita akan punya kesempatan, pasti Tuhan akan beri proyek-proyek agar kita bisa menjadi utusan Tuhan. 

Sekecil apa pun yang kita berikan untuk sesama, merupakan seluruh hidup kita tanpa batas untuk Tuhan.