Tuhan bisa tidak membutuhkan kita, apalagi kita masih dalam kodrat dosa. Maka kita harus sungguh-sungguh berkomitmen untuk bersedia mengasihi Dia. Jangan sampai hati kita disandera, diikat oleh percintaan dunia sehingga tidak sanggup membuat komitmen itu. Tanpa batas, kita harus berusaha untuk keluar dari kodrat dosa. Waktu murid-murid Yesus tidak kenal betul bahwa Yesus adalah Raja di atas segala raja, mereka mengharapkan Yesus menjadi seperti Herodes. Dan tidak heran kalau mereka kemudian mereka meninggalkan Yesus, tatkala Yesus disalib. Tetapi hari ini kita tahu bahwa Yesus adalah Raja dari segala raja. Seandainya kita bisa memutar waktu, di mana kita dilahirkan di sekitar tahun satu dan bisa bertemu dengan Yesus, apakah kita berani menjadi pengikut Yesus? Berani tidak kita ikut Yesus sampai ke Golgota? Mungkin ya, mungkin tidak.
Tantangan yang sama masih berlaku hari ini dan tidak berkurang. Apakah kita punya komitmen dalam mengikut Yesus? Bagaimana kita menggelar hidup dalam penurutan kepada Yesus? Mari kita persoalkan: “bagaimana secara esensi, secara substansial, aku memiliki pengiringan yang benar di zamanku ini, yang dinilai benar menurut standar Tuhan Yesus?” Sehingga suatu hari ketika kita bertemu dengan Tuhan, Dia berkata, “Aku tahu engkau ikut Aku.” Namun, bukan tidak mungkin Tuhan akan berkata kepada seseorang, “Kamu tidak ikut Aku. Kamu hanya beragama Kristen. Kamu tidak percaya kepada-Ku. Kamu hanya mengikuti agama orang tuamu.”
Dan jangan kita berpikir Yesus senang disuap dengan kalimat, “Aku percaya kepada-Mu, Yesus.” Kalimat ini saja tidak ada nilainya, karena nilainya terletak pada beban yang dipikul orang yang menjadi Kristen. Yang berarti dia jadi umat pilihan yang harus membayar harga sebagai umat pilihan. Tidak pernah dalam Alkitab ada nuansa percaya dapat dipisahkan dari tindakan. Abraham kehilangan hidup demi penurutannya terhadap kehendak Allah. Dia meninggalkan Ur-Kasdim, meninggalkan kewajaran hidup, hanya supaya dia bisa memenuhi yang Allah kehendaki. Dan sampai mati, Abraham tidak pernah melihat negeri itu. Dia hanya melambai-lambai dari jauh, namun dia setia.
Sekarang apakah kita percaya bahwa langit baru bumi batu itu ada? Apakah kita percaya bahwa jika kita mempersembahkan hidup kita dengan komitmen yang benar, adalah hal yang tidak sia-sia? Keselamatan dimulai dari inisiatif atau prakarsa Allah dengan mengutus Putra Tunggal-Nya memikul dosa-dosa kita. Kita yang telah memperoleh pembebasan dari dosa harus percaya dan beriman dengan benar. Dan percaya itu merupakan tindakan, yang artinya berusaha melakukan kehendak Allah. Jika tidak melakukan kehendak Allah, berarti tidak percaya. Dan standar melakukan kehendak Allah itu adalah Yesus. Maka, kita harus belajar terus untuk menjadi seperti Yesus. Jangan sampai Tuhan berkata, “Aku tidak kenal kamu.” Yesus berkata, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, ‘Tuhan, Tuhan,’ akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga.”
Jadi, persoalan besarnya di sini adalah apakah kita sudah melakukan kehendak Bapa? Dengan kalimat lain, percuma kita menjadi Kristen kalau tidak melakukan kehendak Bapa. Bahkan, Allah bisa membatalkan pengampunan. Contohnya jelas, yaitu kisah tentang orang yang berutang sepuluh ribu talenta. Suatu jumlah yang sangat besar, di mana satu talenta senilai enam ribu dinar. Ia mendapat pembebasan utang. Namun ketika ia menghadapi teman yang berutang padanya sebesar dua ratus dinar, ia mencekik teman tersebut, lalu memasukkannya ke penjara. Hal itu menyebabkan raja yang memberikan pemutihan utang itu murka, sehingga ia mencabut pemutihannya itu.
Tuhan juga berkata, “Kalau kamu tidak mengampuni saudaramu, Allah juga tidak mengampunimu.” Kalau Allah tidak mengampuni itu artinya kita binasa. Itu sebabnya, dalam Doa Bapa Kami dikatakan, “Ampunilah kami seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami.” Jadi, kalimat dalam Doa Bapa Kami ini hanya untuk orang yang bisa mengampuni orang lain dan yang tidak punya dendam atau kebencian bagi orang lain. Maka, persoalan terbesar dalam hidup kita adalah: Apakah kita sekarang ada dalam keadaan melakukan kehendak Bapa? Ini bukan hanya menyangkut perilaku, apakah kita melanggar hukum atau tidak, tapi seluruh gaya dan model hidup kita ini sudah seperti Yesus atau belum. Sebab model kehidupan yang diinginkan oleh Bapa adalah kehidupan Yesus. Karena itu, kita harus belajar dari Yesus. Masing-masing orang punya personality dan karakter yang berbeda-beda, maka setiap orang harus memiliki pergumulan pribadi. Ini luar biasa! Oleh sebab itu harus punya komitmen untuk menjadi murid dan membayar harga dari komitmennya tersebut.