Skip to content

Tanpa Batas

 

Kita harus memiliki kecerdasan untuk mengerti isi Alkitab dengan benar, tetapi juga kejujuran, ketulusan hati, dan yang terakhir, kita harus memiliki kesediaan untuk melakukan jika itu merupakan perintah atau kehendak Tuhan. Jadi ketika kita mau belajar kebenaran, bukan hanya kita harus cerdas, jujur dan tulus, namun juga bersedia untuk mengenakannya dalam hidup kita. Inilah berharganya hidup, dinilai dari seberapa kita dipenuhi oleh kebenaran Tuhan, dan kebenaran Tuhan itu melahirkan kita menjadi anak-anak Allah. Untuk itu kita harus cerdas, jujur, dan tulus, serta bergairah untuk mengenakan kebenaran itu. Di antara kebenaran-kebenaran yang kita harus pahami merujuk pada hubungan kita dengan Allah, yang harus sesuai dengan apa yang Dia ingini, bukan sesuai dengan apa yang kita ingini. Sebuah bentuk hubungan yang Allah inginkan dan kehendaki. 

Sebagai orang tua, kita ingin memiliki hubungan sebagaimana mestinya menurut orang tua, bukan menurut anak. Memang, orang tua akan memahami anak sesuai dengan kapasitas yang dimiliki anak itu, seiring dengan perjalanan waktu dan usia. Jadi, ketika anak masih kecil, orang tua tahu menempatkan dirinya sebagai orang tua dan juga menempatkan anak. Tetapi seiring perjalanan waktu, bertumbuhnya kedewasaan, orang tua mau anaknya di tempat yang patut, dan anak juga menempatkan orang tua di tempat yang patut. Anak usia 25 tahun menempatkan orang tuanya di tempat yang berbeda dari anak umur 5 tahun menempatkan orang tuanya. Jadi, kita jangan hanya dimanjakan oleh konsep-konsep mengenai kasih karunia Allah dan kuasa-Nya yang menjadi jaminan bagi kita, seakan-akan itu fasilitas yang bisa kita pakai kapan saja, sebanyak apa pun. Dimana jika seseorang makin percaya, makin dapat banyak; makin beriman, makin berlimpah. Tuhan kita bukanlah Tuhan macam itu.

Jadi, orang-orang ini membangun hubungan dengan Tuhan karena fasilitas tersebut, karena Tuhan penuh kasih karunia dan mempunyai kuasa. Lalu, seakan-akan orang percaya bisa menggunakan kasih karunia dan kuasa itu sesuai dengan keinginannya, yang penting meyakini, memercayai bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juru Selamat. Seakan-akan iman itu bisa mengatur Tuhan. Tentu kita setuju bahwa berkat-berkat Tuhan disediakan bagi umat pilihan-Nya, tetapi dalam rangka untuk mengabdi kepada-Nya. Roma 11:36 mengatakan, “Segala sesuatu dari Dia, oleh Dia, dan bagi Dia.” Tuhan menyediakan fasilitas berkat-Nya agar anak-anak-Nya dapat menggunakan semua itu untuk maksud dan rencana-Nya, atau yang sama dengan untuk kemuliaan-Nya.

Jadi, ketika anak umur 3-4 tahun bahwa dia merasa bahwa apa yang orang tua miliki. Dia boleh miliki, dia bisa minta, dia kadang-kadang bahkan memaksa, mengintimidasi orang tua dengan tangisan, teriakan, banting-banting badan, benturkan kepala di tembok, lari keluar rumah dan mengancam. Dan orang tua kadang-kadang memaklumi. Coba kalau umur 25 tahun masih seperti itu, tentu dibawa ke rumah sakit jiwa. Dan ternyata banyak komunitas Kristen dan khotbahnya mengarahkan jemaat berpikir demikian. Ya tentu saja Tuhan tidak bisa diperlakukan semena-mena. Tidak seperti seorang anak yang bisa mengancam orang tua, beda. Tetapi intinya sama: yaitu si anak tidak menempatkan diri secara benar dan tidak menempatkan orang tua secara benar; dalam hal ini, anak Tuhan tidak menempatkan diri secara benar dan tidak menempatkan Tuhan secara benar.

Jangan kita menggambarkan Tuhan begitu. Tuhan mau mengarahkan kita ke satu tujuan. Orang Kristen harus mengerti tujuan-Nya. Walau ini mungkin kedengarannya sederhana, tetapi tidak. Bahwa kita diciptakan hanya untuk Tuhan, segala sesuatu dari Dia, oleh Dia, bagi Dia, bahwa tidak ada satu makhluk pun yang berhak mengupayakan sesuatu untuk kemuliaannya sendiri. Kemuliaan itu bisa berupa harga diri, kesenangan. Kalau seseorang melakukan itu, berarti gairahnya sama dengan oknum Lucifer yang jatuh, yang mengupayakan kemuliaan bagi dirinya sendiri. Orang-orang kafir yang tidak kenal Tuhan, bisa berbagi kepada sesama, sehingga mereka bisa masuk dunia yang akan datang sebagai anggota masyarakat, sesuai dengan firman yang mengatakan, “Ketika Aku lapar, engkau berikan Aku makan; ketika Aku haus, kau berikan Aku minum.”

Tuhan menilai mereka sebagai orang-orang yang membagi hidupnya. Dan faktanya, memang ada orang-orang yang membagi hidupnya demikian. Kita sebagai orang percaya harus lebih dari sekadar membagi hidup, tetapi menyerahkan hidup tanpa batas untuk Tuhan. Kita harus sampai tingkat: “aku ada untuk Tuhan,” bukan “Tuhan ada untuk aku.” Kalau kemarin kita sudah biasa hidup sesuka kita sendiri, maka sekarang kita tidak boleh begitu lagi.