Skip to content

Tangga Anugerah

Semua kita tahu bahwa segala sesuatu yang kita peroleh dari dunia ini, suatu hari harus kita lepaskan, pasti kita tinggalkan atau meninggalkan kita. Hanya satu yang akan menjadi milik kita, yaitu Tuhan sendiri. Seperti yang dikatakan dalam firman Tuhan, “Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau? Selain Engkau, tidak ada yang kuingini di bumi,” kita setuju. Tetapi, berapa banyak kita yang sungguh-sungguh mengalami Tuhan? Seberapa banyak yang telah memiliki Tuhan di dalam hidup kita? Seberapa hidup kerohanian kita bertumbuh? Seberapa tinggi kualitas kesucian hidup kita? Seberapa kuat iman keyakinan kita terhadap Allah bahwa Dia Allah yang hidup, dan kita berani menghadapi segala keadaan, bahkan kematian? 

Seberapa yakin bahwa kalau kita meninggal dunia, pasti diterima di Kemah Abadi, di Rumah Bapa sebagai anggota keluarga Kerajaan Allah? Sejujurnya, masih cukup banyak yang bertanya-tanya dalam hati, tetapi hanya sekilas, kemudian mereka memadamkan atau membungkam suara itu. Suara yang bernada pertanyaan “Mengapa aku tidak kunjung menjadi rohani? Mengapa aku belum hidup kudus? Bagaimana kalau aku mati setiap saat, apakah aku sudah berkenan di hadapan Tuhan? Siapa Allah itu sebenarnya? Bagaimana sebenarnya Dia? Apa benar keselamatan hanya dalam Yesus Kristus?” 

Mungkin kita juga pernah bertanya dengan naif, “Apakah benar Laut Kolsom pernah terbelah? Apakah benar Bumi ini pernah dibanjiri dengan air bah? Apakah benar dunia akan kiamat? Kapan itu? Apakah benar bumi akan menjadi lautan api, dan ada realitas kekekalan surga dan neraka?” Tetapi, pertanyaan-pertanyaan seperti ini terbungkam oleh pertanyaan lain, “Kapan utangku terbayar? Kapan aku punya rumah? Kapan anakku menikah? Kapan anakku punya anak, sehingga aku punya cucu dan garis keturunanku diteruskan? Kapan masalah ini selesai? Kapan sakitku sembuh? Kapan aku bisa jalan-jalan ke tempat itu, ke tempat ini?” Banyak hal. Sehingga pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya sangat prinsip yang harus kita tindak lanjuti dengan tindakan-tindakan konkret, tidak kita tindak lanjuti. 

Pertanyaan seperti “Kapan aku punya rumah?” lebih kita gumuli, dan ditindaklanjuti dengan berbagai aktivitas. Hal-hal yang mestinya prinsip, mengandung unsur kekekalan yang tidak ternilai, digantikan hal-hal yang tidak prinsip, yang relatif, yang bukan hanya kurang bernilai, bahkan bisa tidak bernilai sama sekali jika dibanding dengan kekekalan. Mari kita berpikir serius hari ini. Jangan berkata bahwa surga itu mustahil dicapai, lalu kita tidak pernah ada upaya mencapai surga. Surga memang mustahil dicapai, tetapi Tuhan menyediakan tangga. Tangga itu anugerah. Tetapi, untuk sampai surga, kita harus melangkah. Jangan berkata, “Saya ini pedagang, tidak punya waktu untuk menjadi rohani.” 

Kalau untuk uang atau mungkin juga hobi dan yang lain kita punya waktu, mengapa untuk Tuhan, kita tidak punya waktu? Kalau kita tidak lakukan, berarti memang kita tidak membutuhkan Tuhan. Kita memberi kuota Tuhan hanya kebaktian hari Minggu, satu setengah jam. Itupun datang terlambat. Banyak hal kita berikan dengan porsi yang tidak terbatas. Tetapi untuk Tuhan kita beri porsi yang terbatas. Menikah, tidak menikah, itu bukan wajib; tidak mutlak. Punya anak, tidak punya anak, itu tidak mutlak; relatif. Yang tidak relatif, hanya Tuhan. Dan yang relatif itu akan lenyap. Seperti yang dikatakan dalam firman Tuhan, “Betapa binasa mereka dalam sekejap mata, lenyap habis oleh karena kedahsyatan.” Lenyapnya semua yang kita pegang, itu kedahsyatan. 

Karena orang belum mengalami, maka ia tidak percaya. Dunia ini menipu. Yang kita lihat, cara hidup, filosofi hidup manusia di sekitar kita ini, menipu. Memang tidak bersuara, tetapi lebih kuat dari suara di mimbar. Ketika mereka berkata, “Tenang, tidak apa-apa. Jangan ekstrem; jalani hidup seperti yang lain.” Kalau gereja tidak bersuara keras seperti memukul pentongan kebakaran, bahaya. Jemaat tidak sadar, semua merasa baik-baik saja. Sampai pada suatu saat mereka menyaksikan kenyataan semua lenyap dengan dahsyatnya. 

Kita harus menghayati dahsyatnya kenyataan kalau orang terpisah dari Allah. Jangan berkata, “Mustahil jadi rohani, mustahil hidup suci.” Potensi untuk sampai surga, itu anugerah. Tangga itu anugerah. Tetapi, kalau kita tidak naiki, kita tidak sampai surga. Kesucian itu buah, bukan anugerah. Tetapi, potensi untuk mencapai kesucian, itu anugerah. Kalau tidak menggunakan anugerah—tidak mau mendengar firman, tidak memiliki waktu bertemu Tuhan, tidak memperhatikan setiap kejadian hidup yang terjadi yang mendatangkan kebaikan—kita tidak akan berubah. Setan itu menipu banyak orang Kristen dengan berkata bahwa “Keselamatan itu anugerah, titik” tanpa penjelasan. Lalu, bayangan di dalam pikiran banyak orang Kristen, keselamatan seperti dapat lotre. Justru anugerah yang diberikan kepada kita, memberi tanggung jawab yang lebih besar dari orang yang tidak punya anugerah. 

Surga memang mustahil dicapai, tetapi Tuhan menyediakan tangga; 

tangga anugerah, dan untuk sampai surga, kita harus melangkah.