Kekekalan itu sangat mengerikan! Hidup kita di dunia ini sangat singkat dan tidak pernah terulang, tetapi menentukan nasib kekal kita. Ini sebenarnya yang sangat mengerikan! Kalau mau jujur mestinya kita katakan begini, “hidup ini hanya untuk hari esok di balik kubur, hidup ini hanya persiapan untuk hidup kekekalan di balik kubur kita.” Jadi soal menikah atau tidak, itu tidak masalah, punya anak atau tidak, jangan dijadikan masalah. Punya anak yang mengabdi kepada orang tua atau mendurhaka, jangan jadikan masalah. Hidup berlimpah materi atau kekurangan juga jangan dijadikan masalah. Jalani saja dari hari ke hari; yang penting, bisa dilewati.
Maka kita harus berjuang agar jangan sampai meleset. Karena kadang-kadang ada kesenangan-kesenangan, walaupun itu atas nama pelayanan. Bukan tidak boleh, memperluas pelayanan. Itu memang harus. Tetapi jangan itu menjadi kebahagiaan karena nanti jadi kita berhalakan. Sebab memang, ketika pelayanan kita berhasil dan pujian datang, kita bersukacita. Tapi di balik semua itu, tak jarang ego kita pun ikut bersorak — bendera diri mulai berkibar, dan “si aku” diam-diam bangkit kembali. Akhirnya kita betah di bumi dan tidak ingin pulang ke surga. Dan ini pasti ada sesuatu yang salah.
Sejatinya, manusia tidak ada artinya sama sekali. Apa hebatnya? Jika kita sungguh-sungguh mau merenungkannya, saat kita meninggal dunia dan berdiri menghadap Allah Bapa, segala persoalan sebesar apa pun akan tampak kecil — dan di hadapan-Nya, kita menyadari bahwa diri kita sebenarnya tidak ada artinya. Gelar, pangkat, kekayaan, kedudukan yang kita miliki tidak ada artinya sama sekali. Ini bukan berarti lalu kita menjadi pesimis, lalu sembarangan hidup, tentu kita juga harus berusaha memaksimalkan potensi untuk kemuliaan Allah. Kita harus bertanggung jawab. Sebagai anak merawat orang tua, sebagai orang tua membesarkan anak-anak dan mempersiapkan mereka untuk hari esok. Tentu, sebagai bagian dari anak bangsa, kita memiliki tanggung jawab terhadap negara ini.
Terlebih lagi sebagai anak-anak Allah yang harus mengawal Kerajaan Surga. Kita harus memaksimalkan semua potensi yang kita miliki. Sebab ini akan berlanjut terus nanti di langit baru bumi baru. Bagaimana kita benar-benar menghayati kekekalan sehingga hidup kita ini hanya persiapan untuk kehidupan yang akan datang? Tetapi dunia kita sudah begitu fasik, begitu ateis, suasana dunia ini bebar-benar sulit, berat untuk diterjang, tetapi kita harus berani menerjang. Coba kita lihat bagaimana orang-orang Kristen abad mula-mula mereka teraniaya hebat, Allah seakan-akan tidak membela mereka, seakan-akan tidak hadir, seakan-akan tidak berdaya, betapa hebatnya mereka.
Jadi kalau Alkitab berkata, “siapa yang percaya, selamat,” itu bukan percayanya orang hari ini yang tanpa resiko. Itu percayanya orang pada waktu itu, waktu Alkitab ditulis di mana mereka yang percaya harus kehilangan segala sesuatu. Masalahnya, orang Kristen hari ini percaya tanpa berani atau mau kehilangan segala sesuatu; ini yang salah! Kekristenan sudah menjadi agama, jadi komoditas rohaniwan/pendeta, untuk kepentingan kelompok, diri sendiri, uang, harga diri dan lain-lain. Tentu tidak semua pendeta begitu, ada juga pendeta-pendeta yang baik. Tetapi tidak sedikit yang membuat orang menjadi tidak percaya Tuhan atau percuma merasa percaya Tuhan. Tapi lihat bagaimana orang-orang Kristen zaman dulu, mereka bertekun, mereka bertahan, sekalipun kehilangan harta, keluarga, bahkan nyawa mereka.
Jangan membesar-besarkan masalah yang tidak perlu kita pandang sebagai sesuatu yang besar. Ayo kita utamakan Tuhan! Oleh sebab itu kesempatan kita berperkara dengan Tuhan, menghayati Allah yang hidup, menghayati Allah yang nyata, jangan kita lewatkan. Ada saat-saat di mana kita memeriksa diri, dan kita diberi Tuhan pencerahan untuk mengenali diri kita, sebagaimana Allah mengenali kita. Tuhan pasti menunjukkan keadaan kita yang sebenarnya sebelum kita menutup mata.
Kalau seseorang sudah terbiasa tidak takut akan Allah sampai mau mati pun, dia tidak takut. Bahkan ada orang-orang di ujung maut yang mengutuk Allah, ada kemarahan yang dilepaskan karena dia tidak mampu takut akan Allah. Sebaliknya, jika kita memiliki irama yang takut akan Allah, maka kita takut akan Allah. Dan kalau kita memiliki hati yang takut akan Allah, kita akan mewariskan ini kepada anak-anak kita. Dan kita rindu agar suatu hari kita akan bersama-sama dengan keluarga kita dan orang-orang yang kita cintai di Kerajaan Surga.