Skip to content

Takdir Mati

 

Takdir mati berarti bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan telah ditetapkan secara mutlak oleh Tuhan. Misalnya, kita dilahirkan sebagai orang Indonesia dari suku Manado. Tetapi apakah kita akan menjadi seorang Manado yang jahat atau seorang Manado yang baik, itu bukan ditentukan oleh Tuhan. Di situlah terdapat bagian manusia untuk menentukan keadaannya sendiri. Jika segala sesuatu sudah ditentukan mutlak oleh Tuhan, maka Tuhan akan tampak seperti pembuat skenario dari semua hal, termasuk bencana dan kejahatan. Padahal, hukum-hukum yang Tuhan berikan adalah cermin dari pikiran, perasaan, dan kesucian-Nya. Mestinya dari situ kita belajar membaca dan merasakan kesucian Allah, karena kita adalah makhluk yang diciptakan segambar dengan Dia, diberi kemampuan moral yang mencerminkan diri-Nya.

Karena itu, jangan pernah menggambarkan Tuhan sebagai pembuat skenario dari segala sesuatu, termasuk bencana, kejahatan, atau bahkan neraka abadi bagi mereka yang dianggap ditentukan untuk binasa. Jika Tuhan seperti itu, maka manusia tidak perlu bertanggung jawab. Pandangan seperti ini berbahaya, karena menempatkan Tuhan seolah-olah terlibat langsung dalam semua kejadian, termasuk kejahatan. Konsep takdir seperti ini sering kita dengar dari keyakinan di sekitar kita—bahwa manusia hanyalah wayang dan Tuhanlah dalangnya. Tetapi bila demikian, maka manusia tidak perlu bertanggung jawab atas perbuatannya. Padahal, adalah tidak adil jika manusia diminta bertanggung jawab atas sesuatu yang bukan akibat pilihannya sendiri.

Memang, kita semua memiliki takdir mati—dalam arti hal-hal tertentu yang sudah Tuhan tetapkan—namun ada juga takdir hidup, yaitu ruang di mana manusia bertanggung jawab atas keputusan dan pilihannya. Tidak mungkin segala sesuatu ditentukan oleh Tuhan; pasti ada bagian manusia untuk mengembangkan diri dan menata hidupnya sesuai kehendak Allah. Tuhan Yesus sendiri berkata, “Hal duduk di sebelah kanan dan kiri-Ku bukanlah hak-Ku untuk memberikannya; itu telah disediakan bagi mereka yang telah dipilih oleh Bapa.” (Matius 20:23). Namun seberapa besar seseorang dapat dipercaya untuk menerima kepercayaan dari Tuhan, itu ditentukan oleh bagaimana ia menggunakan kebebasan yang telah Tuhan berikan.

Perumpamaan dalam Matius 22:1–14 menjelaskan dengan jelas bahwa respons manusia terhadap panggilan Allah sangat menentukan. Tuhan Yesus menutup perumpamaan itu dengan kalimat, “Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih.” Artinya, panggilan keselamatan memang bersifat universal, tetapi yang menjadi “yang terpilih” hanyalah mereka yang memberi respons dengan benar. Menjadi umat pilihan bukan hanya bergantung pada kedaulatan Allah semata, melainkan juga pada pilihan dan tanggapan manusia. Banyak yang mendengar Injil, tetapi tidak semua menanggapinya dengan sungguh-sungguh. Tanpa respons, Injil hanya akan menjadi berita kosong.

Firman Tuhan sendiri akan menjadi hakim bagi manusia. Seperti tertulis dalam Yohanes 12:48–49, “Barangsiapa menolak Aku dan tidak menerima perkataan-Ku, ia sudah ada hakimnya, yaitu firman yang telah Kukatakan; itulah yang akan menjadi hakimnya pada akhir zaman. Sebab Aku berkata-kata bukan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa yang mengutus Aku, Dialah yang memerintahkan Aku untuk mengatakan apa yang harus Aku katakan dan Aku sampaikan.” Artinya, yang menentukan keselamatan bukan hanya mengaku percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi bagaimana seseorang merespons perkataan-Nya.

Jadi, jika orang Kristen tidak mau belajar Injil dengan sungguh-sungguh, tidak menanggapi Injil dengan benar, dan tidak hidup sesuai firman, maka jangan mempersalahkan Tuhan. Injil adalah kuasa Allah yang menyelamatkan, dan keselamatan adalah karya Allah untuk mengembalikan manusia kepada rancangan semula. Tetapi tanpa respons, Injil hanya  akan menjadi berita kosong. Seseorang bisa saja berkata menerima Tuhan Yesus, tetapi jika tidak menerima perkataan-Nya, maka penerimaannya palsu. Justru bukti seseorang menerima Tuhan Yesus terlihat dari kesediaannya menerima, mempelajari, dan melakukan perkataan-Nya.

Menerima perkataan Tuhan Yesus berarti bersedia belajar, mengerti, dan menaatinya dalam kehidupan nyata. Mengerti dan melakukan firman Tuhan akan membentuk seseorang menjadi manusia unggul, manusia pilihan yang berkenan kepada Allah. Sebaliknya, orang yang tidak mengerti Injil akan memiliki kualitas hidup yang rendah—baik secara moral maupun emosional. Tetapi kita patut bersyukur, sebab melalui proses yang panjang Tuhan sedang membentuk kita, memperdalam pengertian kita akan kebenaran, sehingga kita menjadi lebih dewasa, lebih bijak, dan lebih serupa dengan Kristus.