Skip to content

Tabur Tuai

Lukas 1:52-53

“Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa.”

 

Saudaraku,

Kalimat-kalimat ini merupakan bagian dari nyanyian pujian Maria, ibunda Yesus. Kalau kita membaca sekilas kalimat-kalimat tersebut, terkesan atau bisa menimbulkan kesan bahwa Allah bisa bertindak semau-mau-Nya, karena kekuasaan ada di dalam tangan Allah, Allah Maha Kuasa, Allah Maha Tinggi, Allah yang menciptakan segala sesuatu, maka Allah bertindak dalam kedaulatan-Nya yang bebas, dalam kekuasaan-Nya yang tidak terbatas. Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah. Namun sebenarnya tidak demikian. Allah memiliki hukum di dalam diri-Nya, Allah punya tatanan di dalam diri-Nya, ini sangat menakjubkan. Tidak ada yang mengawasi Allah, tidak ada yang menuntut Allah, dan Allah juga tidak perlu mempertanggungjawabkan perbuatan-Nya. Namun demikian, Allah tidak bertindak tanpa tatanan.

Kalau Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah, pasti Allah punya alasan berdasarkan tatanan atau hukum di dalam diri Allah tersebut. Kalau Allah melimpahkan segala yang baik kepada orang lapar dan menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa, itu bukan dalam tindakan kesewenang-wenangan tanpa alasan. Jangan kita memandang Allah secara keliru. Sebab di sekitar kita banyak orang memiliki konsep takdir yang salah, konsep penentuan segala sesuatu dari Allah yang menyesatkan, seakan-akan Tuhan itu berlaku sewenang-wenang atau semau-Nya sendiri. Tidak demikian, Saudaraku. Tanpa disadari, kita teracuni oleh konsep yang salah tentang Allah.

Kalau seseorang merasa salah pilih jodoh, dia akan berkata, “Ya sudah, takdirku begini.” Jadi seakan-akan ada penentuan Allah di luar kemampuan manusia untuk menghindar. Keyakinan atau kepercayaan bahwa Allah sudah menyediakan semacam skrip atau skenario atau alur cerita, di mana orang atau manusia hanya tunduk kepada skenario atau skrip yang Allah telah tentukan tersebut, sangat menyesatkan. Kalau berpikir demikian, maka Allah itu seperti bola liar yang menggelinding tanpa dapat diduga, tak terprediksi. Sampai akhirnya nanti, mau tidak mau, orang bisa berpikir bahwa masuk neraka atau masuk surga pun tergantung keputusan Tuhan, dimana peran manusia tidak ada sama sekali, sehingga manusia menghadapi hidup di bumi ini dengan perasaan was-was, tidak menentu. Sebab, Tuhan merupakan misteri yang tak terbaca.

Saudaraku,

Jadi, kalau hidup ini tidak bisa dipetakan oleh manusia—yang diberi Tuhan pikiran dan perasaan, yang karenanya manusia dapat mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan pilihannya—betapa buruk dan mengerikannya kehidupan ini. Dan maaf, Allah yang menciptakan hidup ini, tidak cerdas. Kalau Allah memberi pikiran dan perasaan, maka hal itu memungkinkan manusia untuk bertindak sesuai dengan pilihannya. Itulah sebabnya ada hukum tabur tuai, yang ditabur orang akan dituainya. Itulah sebabnya ada pilihan berkat atau kutuk, rahmat atau laknat, karena ada kehendak bebas. Jadi, jangan kita terbawa oleh cara berpikir orang-orang di sekitar kita, seakan-akan Allah bertindak berdasarkan selera-Nya, bisa-bisa selera sesaat, like atau dislike.

Tuhan diatur oleh tatanan yang ada pada diri-Nya sendiri, dan Tuhan konsekuen. Ingat, ketika Allah mengusir Adam dan Hawa dari Eden, Allah tidak bisa kompromi. Bisa saja Allah berkata, “Adam, Hawa, tetap tinggal di tamannya, ya, sayang. Taman sudah dibuat bagus-bagus, masakan harus tinggalkan, tetap saja di sini.” Tidak bisa! Allah berfirman bahwa pada hari engkau makan buah itu, kamu mati. Benar, mereka dihalau walau bisa saja disertai dengan linangan air mata dan hati yang pedih dan duka. Saya mengajak kita semua untuk merenungkan, memikirkan, dan menerima bahwa Allah Bapa di surga memilih Maria menjadi ibunda Yesus, itu bukan karena like atau dislike. Melainkan karena Maria orang yang patut menerima kehormatan itu. Maria bukan sembarang wanita. Dia boleh masih muda belia, tetapi Maria itu luar biasa. Seandainya ada kompetisi—yang pasti bukan hanya diikuti oleh seorang wanita, namun bisa ratusan, ribuan, belasan ribu, bahkan ratusan ribu—mata Tuhan melihat Maria, wanita ini.

Ketika keputusan Allah jatuh atasnya bahwa dia harus mengandung, dia sempat berkilah, “Saya belum menikah.” Tapi kemudian Maria berkata, “Sesungguhnya aku hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataan-Mu itu.” Maria adalah seorang wanita yang berani. Dia bisa kehilangan Yusuf, bahkan dia bisa dirajam batu, dan berbagai bencana lain karena kehamilan di luar nikah di tengah masyarakat yang moralis pada waktu itu. Kematangan jiwa Maria nampak dari kalimat di nyanyian mazmurnya yang dapat kita baca di Lukas 1:46-55, “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juru Selamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia,

karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku—kuduslah Nama-Nya!—dan rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia. Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa; Ia menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya, seperti yang dijanjikan-Nya kepada nenek moyang kita, kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya.”

 

 

Teriring salam dan doa,

Dr. Erastus Sabdono

 

Kalau hidup ini tidak bisa dipetakan oleh manusia yang diberi Tuhan pikiran dan perasaan, yang karenanya manusia dapat mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan pilihannya—betapa buruk dan mengerikannya kehidupan ini.