Kalau kita punya Tuhan Yesus dan Bapa di surga yang mempunyai segala kuasa, kemuliaan, dan Kerajaan, maka mestinya kita sudah merasa cukup. Jadi, kalau kita tidak merasa cukup, berarti kita tidak menghargai Dia. Sejatinya, kita mau apa lagi? Dunia ini hanya sementara. Dan kita punya Bapa yang menopang kita. Dia membela kita, namun bukan berarti lalu semua jalan jadi lancar, ekonomi membaik dan tidak punya musuh. Tidak! Justru banyak masalah. Orang yang memusuhi kita malah seperti menang. Kita bisa ditindas. Cara Allah membela kita, bisa dengan mengizinkan ada musuh yang jahat, karena Tuhan mau perbaiki karakter kita. Tuhan tahu bagaimana memperbaiki karakter kita. Jadi, sebenarnya ikut Tuhan Yesus itu berat.
Sehingga, tidak heran kalau di Lukas 14:28-30, Tuhan berkata, “Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya.” Jadi, apa pun yang terjadi dalam hidup kita, itu harus diterima sebagai pembelaan Tuhan, supaya kita bisa masuk langit baru bumi baru. Dan Tuhan tidak membuat masalah kita selesai dengan mudah. Namun Dia pegang tangan kita dan hiburkan kita. Cukup karena proses itu harus terjadi. Orang tua yang baik, akan paksa anaknya sekolah. Dan waktu anaknya mengalami kesulitan, orang tua pasti menolong dan memberi semangat, namun tidak mempermudah.
Kalau kita melihat kekekalan, maka masalah-masalah yang kita hadapi hari ini ternyata tidak ada artinya. Tuhan berkata, “kumpulkan harta di surga, bukan di bumi. Di bumi, ngengat dan karat merusak, pencuri bisa membongkar serta mencurinya.” Berarti Tuhan mau kita selalu berfokus pada langit baru bumi baru dan memperhatikan apa yang tidak kelihatan yaitu mengutamakan hal-hal rohani. Kalau orang sudah biasa bergaul dengan Tuhan, maka ketika ia berada di tengah-tengah bencana, ia akan tetap tenang karena ia yakin Tuhan bersamanya. Ia tidak akan berteriak, “Oh Tuhan tolong, oh Tuhan tolong! Kenapa begini?” Dia cuma diam, dan berbisik, “Oh Tuhan.” Bahkan sampai nanti di ujung maut, kita tahu pasti dijemput.
Namun sejujurnya, pasti di antara kita masih ada yang takut, masih tidak jelas dan tidak mampu membidik Tuhan. Itu terjadi karena kita tidak membangun manusia batiniah dan logika rohani yang baik. Jadi, kita tidak boleh terjebak seperti kebiasaan banyak gereja yang hanya bicara mengenai kuasa Tuhan yang dialami oleh jemaat melalui doa pendeta atau orang-orang tertentu. Dan jemaat menjadi lumpuh rohani karena bergantung kepada doa, mukjizat yang didoakan pendeta-pendeta. Sebaliknya, kita tidak boleh lagi mengharapkan hal tersebut. Yang kita harapkan adalah pengertian akan kebenaran yang memberikan tuntunan bagaimana bergaul dengan Allah, sang sumber mukjizat itu.
Oleh sebab itu, ketika kita bergaul dengan Tuhan, yang kita persoalkan bukan kuasa-Nya, melainkan perasaan-Nya. Seperti seorang anak ketika masih kanak-kanak, bagaimana memanfaatkan orang tua untuk kesenangannya. Namun ketika anak sudah dewasa, dia tidak mempersoalkan lagi bagaimana memanfaatkan orang tua untuk kesenangannya, tetapi bagaimana berbuat sesuatu untuk kesenangan orang tua. Dan Tuhan Yesus akan membimbing kita menjadi seperti diri-Nya, untuk bisa menyenangkan hati Bapa. Kenapa? Karena Dia menjadi Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa. Kita sudah harus dewasa sebab dunia sudah mau berakhir. Kita tidak lagi mempersoalkan kuasa Tuhan, yang sudah pasti dijaminkan untuk kita. Sekarang yang harus kita persoalkan adalah bagaimana kehendak dan rencana-Nya, yang harus kita pahami dan kita penuhi. Dengan cara demikian, kita membawa diri kita ini menjadi orang yang ada di pihak Tuhan.
Ironis, mereka merasa kalau sudah bisa menggunakan kuasa Tuhan berarti mereka di pihak Tuhan. Padahal hanya karena mereka tahu kalau orang percaya tidak boleh memakai dukun atau kuasa gelap. Ini bahasa agama pada umumnya, yang mau membela agamanya dan membuktikan kebenaran agamanya dengan kuasa-Nya yang bisa dikampanyekan dan dipertontonkan. Itu eksploitasi, pemanfaatan dan oportunis. Mirisnya, itulah yang sekarang terjadi di banyak tempat. Sehingga tanpa sadar, kita pun tergiring, terkondisi begitu. Bukan tidak boleh berkata, “Allah kita heran dan besar” Boleh! Memang Allah itu besar dan heran. “Mukjizat masih ada. Dia baik, sungguh baik.” Bukan tidak boleh, namun sikap hati kita harus benar. Bukan karena kita mau ‘memakai’ kuasa-Nya. Sekarang sudah saatnya kita itu mengerti kehendak-Nya.
Bahasa agama untuk membuktikan Allahnya benar adalah dengan kebesaran-Nya, dan kekuatan-Nya. Jika perlu, dibantu menujukkan itu ke orang lain. Kalau Kristen tidak demikian. Kita harus bersaksi dengan perbuatan, ditampar pipi kanan beri pipi kiri, teraniaya pun tetap bertahan. Jadi, sebagai orang Kristen yang dewasa, kita tidak lagi menuntut mukjizat. Kalau mau sembuh, jaga pola makan dan pola hidup yang baik. Kalau mau kecukupan, kerja keras, jujur dan tekun. Namun demikian, kalaupun kita tidak memiliki kelimpahan, tidak masalah, sebab hidup kita yang sekarang ini hanya sementara.