Skip to content

Stabilitas Karakter

 

Menghayati nilai jiwa manusia akan ditandai dengan: yang pertama, adanya usaha serius mengubah diri. Yang kedua, kesediaan mempersembahkan apa pun yang kita miliki untuk Tuhan. Namun sejujurnya, kita yang sudah menyerahkan segalanya untuk Tuhan, masih merasa Tuhan belum memakai kita dengan maksimal. Mengapa? Jawabnya adalah: stabilitas karakter. Hari ini kita suci, tidak punya pelanggaran moral. Ke depan belum tentu kita tidak punya pelanggaran moral. Jadi bersyukur kalau Tuhan menahan karunia-karunia Roh-Nya, ledakan-ledakan pelayanan, seakan-akan Tuhan seperti menghambat ledakan-ledakan itu, karena Tuhan mau kita mempersiapkan diri. 

Jangan sampai kita sudah jadi tua, prestasi pelayanan bagus, gedung gereja megah, tapi mata duitan, jatuh dalam dosa moral. Lebih baik jangan. Dan ini adalah karunia, anugerah. Sebab kenyataan berbicara, tidak sedikit hamba Tuhan yang sampai hari tuanya sukses, jalannya lancar, kaya, terhormat, namun dia tidak membawa orang ke surga. Kualitas jemaatnya bukan kualitas anak-anak Allah, standar Kerajaan Surga. Maka kita harus punya stabilitas karakter yang tidak bisa jatuh lagi dan itu perlu waktu. 

Khususnya anak-anak muda, kalau tidak mulai sekarang punya hati yang rendah, lemah lembut, dan mengasihi Tuhan, maka Tuhan tidak akan percayai kalian. Jujur saja tidak cukup. Kalian bisa jujur, tapi masih bisa menjegal orang, gila hormat, tidak senang orang lain lebih maju, sehingga itu juga tidak membuat kalian dipercayai Tuhan. Jadi, harus setinggi-tingginya serupa dengan Yesus. Dan ini yang seharusnya sangat kita khawatirkan, “Kalau Anak Manusia datang, apakah Dia mendapati iman di bumi?” Dunia kita hari ini sudah rusak. Lihat generasi muda kita hari ini, rusak. Dari etika saja menunjukkan kesombongannya. Bagaimana bisa menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah dengan manner seperti itu? 

Kalau kita masih bisa berubah, berubahlah. Hidup kita jangan tidak menjadi teladan. Coba lihat hari ini, berapa banyak orang yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan dan rela memberikan hidupnya tanpa batas? Semua serba menghitung, padahal jiwa manusia itu mahal. Seandainya seluruh harta dunia ini dikumpulkan, belum cukup membeli satu jiwa. Mengapa kita tidak berjuang sungguh-sungguh? Mengapa kita masih cari keuntungan di dalam pelayanan? Mengapa kita tidak berkorban dengan sungguh-sungguh? Kita mencari orang-orang yang bisa menangis bersama untuk keselamatan jiwa-jiwa. 

Kita semestinya ada dalam perasaan krisis melihat dunia sedang hanyut menuju kegelapan abadi. Benahi diri kita dulu. Ayo, kita berdoa, sebab yang kita hadapi adalah dunia yang gelap. Pakai perhitungan logika, kalkulator, tidak bisa. Harus Tuhan yang hadir dengan kuasa-Nya dan kita harus menjadi media, bejana seutuhnya untuk Allah bekerja di dalam dan melalui hidup kita. Hidup kita harus bersih, motivasi kita harus lurus. Doktor teologi tidak bisa dijadikan modal. Kalau untuk khotbah bisa bagus, untuk aktualisasi diri juga bisa. Apalagi dengan media sosial, kita bisa khotbah sebanyak-banyaknya, baca buku sebanyak-banyaknya juga, lalu orang-orang akan tertarik sehingga kita dapat banyak subscriber atau viewer, dan hal itu membuat kita senang. Setan bekerja dengan cara itu. Padahal bukan itu fokus kita.

Percayalah, kita pasti punya kelebihan yang bisa dipakai Tuhan untuk menyelamatkan jiwa. Ini bukan urusan organisasi, atau supaya gereja maju, namun ini urusan keselamatan jiwa. Coba masing-masing kita bertanya kepada Tuhan, “Apa yang harus kulakukan, Tuhan? Di mana tempatku?” Maka kita harus terus membenahi diri, terus membangun diri. Bukan hanya proses, namun juga progres. Dan setiap kita pasti memiliki keutamaan atau keistimewaan yang tidak dimiliki orang lain. Ayo bangun diri kita. Tuhan mencari laskar yang bisa tergabung menjadi orang-orang yang dipakai Tuhan dengan sungguh-sungguh untuk mengubah orang lain. 

Kalau hanya membuat hiruk-pikuk kebaktian, banyak gereja punya kemampuan itu. Tapi kita mau menjadi gerakan yang benar-benar mengubah. Ketika kita bertumbuh dalam karakter, dalam kedekatan dengan Tuhan, menjadi orang yang semakin serupa dengan Yesus, dan punya kestabilan karakter, maka Tuhan bisa memercayakan perasaan-Nya kepada kita. Tuhan tidak akan memercayakan perasaan-Nya kepada orang yang tidak layak ditulari perasaan-Nya. Kita menjadi bejana-Nya seutuhnya, artinya biar ruangan hati kita dipenuhi oleh hati-Nya, dipenuhi oleh perasaan-Nya, supaya kita merasakan yang Tuhan rasakan. Seperti Yesus menangisi Yerusalem, kita ingin punya hati seperti itu, yang bisa menangisi jiwa-jiwa. Bukan basa-basi, tapi hati yang sungguh mengasihi jiwa-jiwa. Ini bukan soal aktivitas pelayanan semata, melainkan jiwa-jiwa yang harus diungsikan dari kegelapan.