Hampir semua kita pernah mendengar bahwa menjalani hidup ini adalah sekolah kehidupan. Sebenarnya apa yang dipelajari di sekolah kehidupan? Hidup kita adalah hidup untuk mengenal Sang Khalik atau Sang Pencipta. Kalau binatang atau hewan, tidak perlu mengenal Sang Khalik atau Sang Pencipta. Kalau binatang peliharaan dengan sendirinya secara otomatis mengenal siapa yang menjadi majikan, ketika tiap hari mereka berinteraksi. Binatang tidak perlu mengenal siapa Penciptanya, dan tidak bisa berinteraksi dengan Sang Khalik atau Sang Penciptanya. Hanya makhluk yang memiliki pikiran dan perasaan yang segambar dengan diri-Nya, yang memiliki kemampuan atau berpotensi untuk bisa bergaul dengan Allah, berinteraksi dengan Allah, Penciptanya; berdialog atau berjalan bersama Dia.
Pertanyaan yang harus kita tujukan kepada diri sendiri dengan sangat serius, dari perjalanan hidup yang telah kita jalani, seberapa kita sebenarnya telah memiliki pengetahuan tentang Allah dari pengalaman langsung, di mana kita berinteraksi dengan Allah? Di dalamnya ada dialog, ada perjalanan bersama-Nya. Seberapa kita sebenarnya telah memiliki pengetahuan tentang Allah dari pengalaman hidup riil kita? Bukan sekadar dari apa yang kita dengar atau kita baca, tetapi benar-benar memiliki atau menemukan kekayaan pengetahuan tentang Allah atau pengalaman dengan Allah dalam perjalanan hidup ini.
Sesungguhnya itulah isi dari sekolah kehidupan. Ternyata hal ini dianggap tidak penting atau dianggap kurang penting, karena digantikan dengan pengetahuan tentang Tuhan, pengenalan akan Tuhan dari apa yang didengar dan dibaca, dipelajari melalui pendidikan formal di Sekolah Tinggi Teologi atau melalui pendalaman Alkitab atau melalui seminar-seminar rohani dan khotbah-khotbah di gereja. Begitu liciknya Iblis menyesatkan banyak orang, termasuk menyesatkan kita dan menyesatkan banyak orang Kristen lainnya. Menyesatkan para hamba Tuhan sebagai teolog, sebagai pendeta, sebagai pembicara di mimbar Kristen yang merasa sudah kaya akan pengetahuan akan Allah atau pengenalan hanya melalui buku, melalui proses pembelajaran di Sekolah Tinggi Teologi.
Jangan menggantikan pengenalan akan Allah yang mestinya benar-benar dialami dari perjalanan hidup, pengalaman langsung dengan Allah, dengan pengajaran yang hanya ditangkap oleh nalar. Dan orang merasa bahwa ia sudah mengenal Allah secara benar. Betapa menyesatkan hal ini. Kalau seseorang belajar tentang misalnya Mr. Donald Trump sedetil-detilnya, bagus. Ditanya apa tentang sejarah hidup sosok ini, bisa dijawab. Tidak ada kepentingan kita dengan Mr. Donald Trump. Tentu berbeda kalau kita berbicara tentang Allah. Kita berkepentingan dengan Dia, sebab kita tidak bisa hidup tanpa Dia. Dia adalah Penguasa yang memerintah, yang dengan-Nya setiap insan yang memiliki pikiran dan perasaan mesti berinteraksi, bergaul, berdialog.
Banyak di antara kita yang miskin, bahkan sangat miskin dalam pengenalan akan Allah dari pengalaman hidup. Padahal, Allah bergerak setiap hari di dalam dan melalui hidup kita. Ada banyak jejak Allah di dalam hidup kita yang tidak kita mampu tangkap, tidak mampu kita mengerti. Kecuali hal-hal spektakuler, seperti sakit yang tak terobati, yang tenaga medis yang sudah angkat tangan, menyerah, lalu didoakan kemudian sembuh, misalnya. Atau hal-hal spektakuler lain yang bisa dimaknai sebagai tindakan Tuhan. Sedangkan yang lain, kejadian-kejadian lain yang dianggap normal, itu kejadian yang memang berlangsung dengan sendirinya. Seakan-akan tidak ada kehadiran Allah di dalam peristiwa-peristiwa hidup yang kita alami.
Padahal, betapa kayanya pengenalan akan Allah melalui peristiwa-peristiwa hidup. Tahukah kita, kalau kita bisa menangkap kehadiran Tuhan melalui peristiwa-peristiwa hidup? Kita akan terbentuk, terbangun menjadi manusia Allah; man of God. Menjadi orang saleh. Tuhan pasti membimbing kita sebagai umat pilihan untuk bisa serupa dengan Yesus, seperti yang dikatakan di Roma 8:28-29, Allah bekerja dalam segala sesuatu agar kita serupa dengan Yesus. Kalau seseorang tidak menangkap kehadiran Allah melalui peristiwa-peristiwa hidup, maka banyak berkat rohani yang missed, yang lenyap. Karakter kita tidak terbentuk, iman kita lemah, pengharapan kita akan kehidupan yang akan datang begitu tipis, bahkan mungkin tidak ada. Oleh sebab itu, kita harus benar-benar berambisi. Mari kita bertanya kepada Tuhan, “Di mana Engkau, Tuhan? Bagaimana hadir-Mu?”
Tentu untuk merangsang jiwa kita menemukan Allah adalah dengan berdoa. Tidak ada hari yang kita tidak datang secara pribadi untuk berdialog dengan Tuhan dalam kesendirian, keheningan, di tempat tertutup. Yang tentu nantinya dari dialog yang kita lakukan dengan Tuhan di tempat tertutup, di keheningan, di kesendirian tersebut, kita akan menangkap kehadiran Tuhan dalam peristiwa-peristiwa, yang tentu saja di balik peristiwa-peristiwa tersebut ada pelajaran rohani, ada nasihat, hikmat yang Tuhan berikan. Mari gelorakan jiwa kita. Kita kobarkan semangat kita untuk mencari Tuhan.
Mari gelorakan jiwa kita. Kita kobarkan semangat kita untuk mencari Tuhan.