Saudaraku,
Semakin kita melekat dengan Tuhan, hidup dalam persekutuan dengan Tuhan, semakin kita menghayati kesucian Allah. Dan semakin kita sungguh-sungguh mau hidup di dalam kekudusan Allah, semakin kita melihat betapa rusaknya dunia ini. Sejatinya, betapa rusaknya kita dulu sebelum mengalami pemulihan, pembaharuan, proses seperti ini. Dunia sangat jahat, bukan hanya di luar gereja, tapi juga yang ada di dalam gereja. Sungguh mengerikan. Banyak orang yang tidak memiliki belas kasihan, semena-mena terhadap sesamanya. Begitu mudah berkhianat terhadap orang lain—terhadap pimpinan, bapak rohani, orang yang pernah menaruh kebaikan dan merasa ia tidak pernah menerima kebaikan apa pun dari orang-orang yang dia khianati. Mereka jahat, sombong, angkuh, tapi tidak sadar bahwa dirinya itu sombong, angkuh. Dunia sudah sangat jahat.
Dengan menyampaikan hal ini kiranya kita sadar, sebab kita juga bisa melakukan kesalahan-kesalahan itu tanpa kita sadari. Sebaliknya, miliki belas kasihan terhadap orang lain, siapa pun—orang yang bekerja di rumah, bawahan di kantor, rekan kerja, atasan, tentu terutama pasangan hidup dan keluarga sendiri—agar kita tidak berbuat dosa. Semakin kita menghayati kesucian Allah, kita makin menyadari betapa rusaknya kita dulu dan sekarang masih saja ada unsur-unsur kerusakan yang masih kita lakukan. Jadi, dengan makin menyadari kesucian Allah —akan makin melihat betapa rusak dan rentannya manusia, juga diri kita. Yang ironis, yang mengerikan, kita bisa hidup di dalam kesalahan, tanpa kita sadari kita ada di dalam kesalahan itu. Wah, betapa rusaknya dunia ini, betapa rusaknya manusia.
Mari kita berjuang sungguh-sungguh, berjuang untuk menjadi orang-orang yang tidak bercacat, orang-orang yang tidak bercela. Melihat keadaan dunia seperti ini, kita harus bekerja keras untuk menyelamatkan generasi kita. Itulah sebabnya kita mendidik anak-anak sejak dini. Kalau kita tidak bisa menolong satu juta orang, kita masih bisa menolong seratus ribu orang; jika tidak bisa seratus ribu orang, kita menjangkau sepuluh ribu orang. Tidak bisa menolong sepuluh ribu orang, kita bisa menolong lima ribu orang. Lima ribu orang pun kita mungkin tidak sanggup, kita bisa menolong paling tidak seribu orang. Dari anak-anak kita didik, kita bina, kita ajarkan Suara Kebenaran kepada mereka. Ini pekerjaan besar. Tetapi jika Tuhan berkenan dan memberikan kita kelengkapan, memberkati kita dengan biaya yang cukup, kita menyelamatkan sebanyak mungkin generasi ini. Kiranya di sisa umur hidup kita ini, kita mau bekerja sebanyak-banyaknya, sekeras-kerasnya — bagaimana menyelamatkan jiwa, dan dimulai dari anak-anak.
Kalau anak-anak kota, dari melek sudah pegang gadget—waktu makan supaya tidak rewel, dikasih gadget; supaya tidak ribut, tidak mengganggu orang tua, diberi gadget dan banyak tontonan yang tidak membangun iman—di sini Iblis meletakkan landasan, platform, dasar yang membuat anak ini suatu hari tidak akan pernah bisa menerima Tuhan, tidak bisa mengerti Kerajaan Allah. Setan sudah membuat persemaian. Iblis menyemai anak manusia dari sejak kanak-kanak, untuk siap dituai di hari tuanya. Saya tidak tahu berapa banyak kita yang benar-benar mau meratapi keadaan ini. Kalau sudah dewasa, sudah lewat SMA, waduh, sulit sekali. Makin ke depan nanti akan makin tidak bisa diperbaiki lagi. Dan lebih mengerikan, kalau sudah lulus S1, apalagi jika sudah memiliki gelar S2, mereka lebih sombong lagi, lebih sulit lagi.
Ironis, tidak sedikit yang mengambil gelar S2, S3, hanya untuk kesombongan saja, untuk gelar. Jadi, mahasiswa-mahasiswa Sekolah Teologi, kalau sudah tingkat lebih tinggi, lebih tidak tahu diri, lebih sombong. Ini karena benih sejak kecilnya sudah rusak. Ular di dalam dirinya tidak mati, ditambah dengan pengetahuan, gelar, belum duit, penampilan — makin rusak. Dunia kita jahat sekali. Jadi benar kata Tuhan Yesus, “Kalau Anak Manusia itu datang, apakah Ia mendapati iman di bumi?” (Luk. 18:8). Sedikit sekali orang yang punya iman sesuai dengan kehendak Allah. Mari kita membenahi diri kita masing-masing dulu, kalau-kalau ada ketidakpantasan yang masih kita lakukan di hadapan Allah, setelah itu baru kita membenahi orang lain. Amin!
Teriring salam dan doa,
Dr. Erastus Sabdono
Semakin kita menghayati kesucian Allah, kita makin menyadari
betapa rusaknya kita dulu dan sekarang masih saja ada
unsur-unsur kerusakan yang masih kita lakukan.