Dalam hidup ini, kita pasti berinteraksi dengan banyak orang dalam berbagai strata, jabatan, status, tingkat pendidikan, tingkat sosial, tingkat pangkat, dan lain-lain. Kita berinteraksi juga dengan keluarga; keluarga inti, keluarga besar, sahabat, rekan, dan lain sebagainya. Dalam berinteraksi dengan sesama atau dalam hubungan dengan sesama, kita pasti bisa mempertimbangkan, menakar kepentingan kepada masing-masing individu. Dari yang tidak penting, kurang penting, agak penting, penting, sangat penting, dan sangat-sangat penting. Bila berurusan dengan orang yang kita anggap sebagai urusan yang sangat-sangat penting, maka apa pun kita kalahkan, apa pun kita abaikan demi orang tersebut. Sedang sakit pun kita juga bisa memaksa diri untuk melakukan apa yang dia perintahkan atau untuk bertemu beliau.
Pertanyaan untuk setiap kita adalah seberapa penting Tuhan bagi kita? Mohon jangan hanya menjadi bahan renungan, tetapi sungguh-sungguh menjadi tantangan, sungguh-sungguh kita perkarakan dan kita selesaikan hari ini. Seberapa kita menganggap Tuhan itu penting? Karena ini menentukan nasib kekal kita, yang banyak orang tidak peduli karena faktor suasana dunia yang nihilistis. Walaupun ada di masyarakat yang religius, masyarakat yang menjunjung tinggi agama, bahkan yang memiliki sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa,” tapi suasana nihilistis begitu kuat. Tuhan dianggap tidak ada atau tidak perlu ada. Setan sukses menutup mata pikiran banyak orang sehingga Tuhan dianggap tidak ada atau tidak perlu ada. Digantikan dengan filosofi kemanusiaan, humanisme, dan lain-lain, yang itu dianggap sebagai nilai kemanusiaan yang tidak kalah pentingnya dengan bertuhan.
Sejujurnya, kita melihat potret hidup banyak orang yang tindakannya menunjukkan seakan-akan Tuhan itu tidak ada. Lebih mengerikan lagi kalau itu ada di lingkungan pendeta, lingkungan rohaniwan dengan perilaku yang memancarkan pesan seakan-akan Tuhan tidak ada. Dan masyarakat kita yang nihilistis dan ateis praktis—secara teori bertuhan, secara praktik tidak bertuhan—menyeret kita untuk kurang yakin bahwa Allah itu ada, sehingga sedikit sekali kita yang sungguh-sungguh memperhatikan perasaan Tuhan. Sedikit sekali orang yang sungguh menghormati Tuhan. Kalaupun ada orang-orang Kristen yang merasa sudah menghormati Tuhan, penghormatannya kepada Tuhan sebenarnya belum patut atau belum pantas.
Ayo kita perkarakan hari ini, seberapa penting Tuhan untuk kita. Untuk orang-orang yang kepepet karena menghadapi masalah tanpa solusi, dan masalah itu berada di luar kemampuannya, barulah mereka menganggap Tuhan itu penting. Tapi sejatinya, Tuhan hanya menjadi alat, sarana untuk menyelesaikan masalah, dan kebutuhannya. Sebab baginya yang penting adalah masalahnya selesai, kebutuhannya terpenuhi, bukan Tuhan. Di sini dibutuhkan kejujuran, seberapa kita sungguh-sungguh menganggap Tuhan itu penting. Kalau kita menganggap Tuhan itu penting, maka dalam setiap tindakan dan keputusan, kita akan selalu mempertimbangkan apakah yang kita lakukan menyenangkan Tuhan atau tidak. Benar-benar kita serius memperkarakan setiap langkah hidup kita; apakah yang kita lakukan ini, kita putuskan, berkenan di hadapan Tuhan atau tidak.
Ini yang namanya menjaga perasaan Tuhan. Orang yang menganggap Tuhan itu penting, pasti memetakan jam-jam hidupnya untuk bertemu dengan Tuhan, dan pertemuan dengan Tuhan itu sebagai prime time. Jangan sampai nanti ketika kita mengetuk pintu dan berkata, “Tuhan, Tuhan, bukakan pintu,” namun dari dalam terdengar jawaban, “Aku tidak mengenal kamu.” Maka kita harus berusaha untuk memperkarakan diri di hadapan Tuhan, apakah masih ada dosa yang kita lakukan? Apakah masih ada kesalahan yang kita perbuat, apakah masih ada kesenangan-kesenangan dunia yang mengikat hidup kita? Sebab mestinya kita menjadikan Tuhan itu segalanya dalam hidup ini. Dan kalau kita bisa menghayatinya, betapa luar biasa kehidupan kita. Rasa kebutuhan akan Allah ini bukan karena kita punya masalah atau kebutuhan akan pemenuhan jasmani, melainkan karena pribadi Tuhan itu sendiri. Kita harus sampai pada pengalaman memiliki kehausan akan Allah di dalam jiwa kita. Namun pada umumnya, jiwa manusia sudah rusak. Seleranya diisi dengan percintaan dunia, sehingga tidak memiliki kehausan yang benar akan Allah.
Jangan kita menjadi seperti orang kaya di Lukas 12 yang merasa jiwanya dipuaskan oleh materi dengan mengatakan, “Hai, jiwaku, banyak harta. Bersenang-senanglah, beristirahatlah.” Dia menjadikan harta dunia ini sebagai kesenangan dan pelabuhannya. Lalu Alkitab berkata, “Hai, orang bodoh, hari ini, malam ini nyawamu diambil. Untuk siapa itu nanti?” Ia tidak mampu membutuhkan Tuhan, tidak mampu memiliki kehausan akan Allah. Sejatinya, manusia diciptakan dengan keadaan terkunci atau tersandera bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa Penciptanya. Itulah sebabnya ada kehausan dalam jiwa kita yang tidak bisa dipenuhi oleh siapa pun dan apa pun kecuali oleh Allah. Tetapi Iblis telah membutakan banyak mata orang dan membutakan perasaan, membutakan pikiran rohani sehingga orang tidak memiliki kehausan itu. Padahal kalau kita tidak memiliki kehausan akan Allah, kita tidak bisa bersanding dengan Yesus dan menjadi mempelai bagi Kristus karena kita memiliki chemistry yang berbeda.