Paling tidak, sebagian besar orang percaya yakin dan mengakui bahwa Allah itu ada. Kalau kita percaya dan mengakui Allah itu ada, seberapa kita menghargai Allah? Seberapa harga Allah di mata kita? Dan apa respons dan sikap kita terhadap kenyataan mengenai keberadaan Allah tersebut? Tentu kepada setiap orang, juga kepada benda di sekitar kita, kita memberi harga. Walaupun tidak bisa digambarkan dengan nominal, tetapi penilaian kita terhadap sesuatu atau seseorang itu akan ditunjukkan dalam sikap. Perhatikan bagaimana seorang ibu yang bangun pukul 3 pagi mengupas pisang, lalu menggorengnya untuk dia jual di pasar. Dia menghargai, dia memberi nilai tinggi terhadap anak supaya anak bisa sekolah. Seseorang yang kehilangan barang yang dinilai berharga, bisa menjadi stres, tidak bahagia.
Mari kita memperkarakan, berapa harga yang kita berikan untuk Tuhan. Memang tidak bisa dilihat dengan nominal angka, tapi sikap kita jelas-jelas menunjukkan seberapa kita menghargai Tuhan di dalam hidup kita. Firman Tuhan mengatakan, “Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia, kalau jiwanya binasa?” Jadi, jiwa itu lebih berharga dari seluruh harta di dunia ini jika dikumpulkan. Kalau harga jiwa sampai sedemikian, tentu Allah lebih tinggi dari nilai harta seluruh dunia bahkan seluruh jagat raya. Mestinya kalau seseorang merasa memiliki Tuhan dan memiliki persekutuan dengan Tuhan, ia merasa memiliki kekayaan lebih dari apa pun. Dan pastinya, ia rela berbuat apa pun demi Tuhan.
Kalau firman Tuhan mengatakan di Injil Matius 22:37-40, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan kekuatan,” itu sebenarnya sama artinya “beri Dia nilai lebih dari apa pun yang kau kasihi, kau cintai. Kasihilah Dia lebih dari siapa pun dan apa pun. Beri Dia harga lebih dari siapa pun dan apa pun.” Dan ketika Alkitab berkata, “Kamu harus menyembah Tuhan Allahmu, dan hanya kepada Dia saja kamu berbakti,” sebenarnya maksud pernyataan itu adalah berilah nilai tinggi kepada-Nya lebih dari segala sesuatu. Konteksnya di Lukas 4:5-8, Tuhan Yesus dibawa oleh Iblis ke atas tempat yang tinggi, dan kepada Yesus ditunjukkan kekayaan dunia, kemuliaan dunia. Dan Iblis berkata, “Kalau Kamu menyembah aku, aku berikan dunia ini kepada-Mu.” Yesus diperhadapkan antara keindahan dunia dengan Allah. Siapa yang Dia pilih atau apa yang Yesus pilih? Yesus mengutip ayat Alkitab, “Sudah tertulis, kamu harus menyembah Tuhan Allahmu.”
Ketika di taman Getsemani, Yesus diperhadapkan pada kehendak-Nya sendiri yang tentu itu berharga—sebab manusia pada umumnya menilai dirinya dan kehendaknya sebagai yang paling utama, paling penting, paling berharga—dan kehendak Bapa. Sempat Yesus berkata, “Jikalau boleh cawan ini lalu daripada-Ku.” Tetapi di akhir doa, tiga kali dengan perkataan yang sama, Yesus selalu menaklukkan pergumulan itu dengan mengatakan, “Biarlah kehendak-Mu yang jadi.” Dia lebih menghargai kehendak Bapa daripada kehendak diri Pribadi-Nya. Yesus lulus. Ini yang namanya merendahkan diri di hadapan Allah. Merendahkan diri di hadapan Allah tidak cukup kita menyanyi, “’Ku datang rendahkan diri.” Mengucapkan kalimat, “Aku datang merendahkan diri di hadapan-Mu” mudah dilakukan, tetapi merendahkan diri dengan sikap ketika seseorang menyangkal keinginannya sendiri dan menuruti kehendak Allah, itu perendahan diri yang benar.
Kita teruji pada waktu emosi kita mau meledak, ketika kita tersinggung dan merasa tersingkirkan. Pada waktu itulah kita harus memilih kehendak kita sendiri atau kehendak Allah. Kita lebih menghormati Tuhan atau menghormati diri kita sendiri? Ternyata tidak mudah untuk memberi nilai tinggi Allah. Pertama, kita harus mengenal kebenaran Alkitab dari hamba Tuhan yang benar-benar menyampaikan suara Allah dan pesan dari surga. Yang kedua, kita harus berhadapan dengan Tuhan secara pribadi, supaya kita bisa merasakan keagungan, kemuliaan Allah dalam perjumpaan langsung dengan Tuhan. Yang ketiga, melalui pengalaman. Pengalaman, kejadian demi kejadian, akan membuka mata pengertian kita untuk menemukan betapa berharganya Tuhan.
Ironis, jangan-jangan sedikit di antara kita yang sudah menghargai Tuhan secara patut. Kalau Tuhan gampang tersinggung, semua kita sudah berakhir sejak dulu. Tetapi Tuhan dengan kesabaran dan kerendahan hati-Nya masih memberi kita peluang untuk meng-upgrade diri, untuk berubah, supaya kita menghargai Dia dengan patut. Hanya kalau sampai pada akhir hidup, kita tidak menghormati Tuhan, maka kita akan dibuang ke dalam api kekal. Sebab Tuhan tidak menghendaki orang menghormati Dia mendadak. Begitu mati, melihat kemuliaan Allah, baru mendadak menghormati Allah. Hanya orang yang menghormati Allah sejak di bumi dengan kerelaan yang diperkenan masuk di hadirat Allah.