Suatu saat nanti, dan ini pasti terjadi, ketika tidak ada sesuatu yang dapat kita genggam, ketika tidak ada seorang pun yang dapat kita gandeng atau menggandeng kita, barulah orang menyadari bahwa memang Tuhanlah yang harus menjadi segalanya dalam hidup kita. Tapi banyak orang tidak sampai level ini, karena manusia sudah biasa memercayai yang kelihatan sehingga tidak mampu memercayai Allah yang tidak kelihatan. Orang sudah terbiasa memandang yang kelihatan yang dapat menjadi jaminan, sedangkan yang tidak kelihatan tidak bisa menjadi jaminan. Padahal, di dunia ini tidak ada sesuatu yang pasti, tidak ada yang dapat menjadi jaminan, tidak ada yang dapat jadi pegangan, tidak ada yang dapat menjadi kepastian, kecuali Tuhan. Tuhanlah satu-satunya jaminan kita, Tuhan satu-satunya kepastian kita.
Kalau kita menjadikan Tuhan segalanya, barulah sesungguhnya kita memiliki jaminan dan kepastian itu. Tetapi banyak orang tidak mampu memercayai Dia. Itulah sebabnya orang masih memberi ruangan dan kesempatan kepada yang lain untuk menjadi pegangan, topangan, dan diharapkan bisa menjadi jaminan dan kepastian. Sebenarnya orang-orang seperti ini sombong, tetapi Tuhan dalam kesabaran-Nya masih memberi kesempatan agar mereka sadar, bertobat dan berbalik kepada-Nya. Betapa sulitnya untuk mengolah hati, batin, pikiran, dan membawanya di hadapan Tuhan, karena Tuhan sering seakan-akan seperti bayang-bayang yang ketika kita raih, berlalu bagaikan awan.
Tetapi di situ sebenarnya Tuhan mengajar kita untuk memercayai Dia, bukan dengan perasaan. Perasaan kita itu situasional, dan perasaan kita masih bisa dikontrol oleh pikiran dan dunia sekitar kita. Tetapi iman yang murni, dari mata hati yang terbuka, untuk bisa memercayai Allah, itu bukan sesuatu yang sederhana. Maka sekarang kita bisa mengerti mengapa Tuhan membawa kita kepada keadaan-keadaan yang benar-benar sulit, keadaan yang ada di luar kemampuan kita, sebab di situlah kita dilatih untuk memercayai Allah yang memiliki kesanggupan apa pun. Menjadikan Tuhan itu segalanya, tidak sederhana. Sebab kesukaan hati kita harus sepenuhnya kepada-Nya; kebahagiaan kita harus benar-benar tertaruh pada Tuhan, sehingga kita bisa mengerti yang dikatakan pemazmur, “Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau? Selain Engkau, tidak ada yang kuingini.”
Ciri dari manusia seperti ini, yang pertama, dia tidak bisa berbuat dosa. Dari tidak berbuat dosa sampai tidak bisa berbuat dosa, tentu membutuhkan perjuangan. Sebab tidak berbuat dosa itu merupakan satu keadaan di mana seseorang harus mengalami perubahan kodrat, sampai berkodrat ilahi; perubahan kodrat total. Yang kedua, orang yang menjadikan Tuhan segalanya akan terkondisi untuk tidak menyentuh apa yang salah; bukan sekadar tidak melanggar moral, melainkan tidak melanggar apa yang tidak sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Yang ketiga, orang yang menjadikan Tuhan segalanya pasti berhenti hidup untuk dirinya sendiri, sebab kiblatnya Tuhan, sepenuhnya untuk kepentingan Tuhan. Barulah ia bisa merasakan perasaan Tuhan yang dikalimatkan dalam 2 Petrus 3, “Ia tidak menghendaki seorang pun binasa.” Kepeduliannya terhadap keselamatan jiwa sesama, tulus. Pekerjaan Tuhan yang diembannya benar-benar makin hari makin murni, dan ditujukan untuk kepentingan Tuhan.
Ironis, tidak sedikit pendeta atau orang-orang yang aktif dalam pelayanan masih menikmati segelintir atau segenggam kehormatan atau keasyikan dalam pelayanan. Dan itu tidak bisa dijelaskan karena menyangkut kedewasaan rohani. Sebab dia selain memperjuangkan pekerjaan Tuhan, dia juga memperjuangkan perasaannya. Betapa sulitnya menjelaskan kepada orang-orang ini, sampai dia punya nurani nanti akan jernih dan tahu. Namun, rata-rata kita masih memiliki bagian. Padahal, kalau kita menjadikan Tuhan segalanya, maka kita tidak punya bagian apa pun. Dan pada umumnya kita masih wajar hidup sebagai manusia. Padahal Tuhan menargetkan kita untuk berbeda dengan dunia—atau dengan kata lain, sudah tidak wajar hidup—sebab justru inilah target yang harus kita capai sebagai anak-anak Allah, bangsawan surgawi. Semua dipertaruhkan untuk Tuhan, dan yang keempat, tentu orang seperti ini benar-benar siap meninggal dunia.
Orang mudah berkata, “Ini semua milik Tuhan. Kita hidup untuk kemuliaan Allah.” Namun sejatinya, ia tidak bisa mengerti, dia tidak atau belum sampai level itu, tapi merasa sudah sampai. Walaupun ada di lingkungan pelayanan, dia masih belum mengerti karena sudah terlalu rusak. Ibarat sebuah landasan pacu, landasan pacunya tinggal sepotong, ia tidak bisa terbang lagi karena sudah lama tidak punya kecepatan yang proporsional untuk terbang. Dan inilah yang Iblis usahakan, menggiring orang percaya untuk hidup dalam kewajaran; itu musuh yang tidak disadari. Ketika kita menutup mata, tidak ada yang bisa kita genggam, dan tak ada seorang pun yang menggandeng, maka kita baru tahu bahwa ternyata yang kita butuhkan hanya satu, Tuhan.