Dulu waktu kita masih suka nonton film, sering atau kadang-kadang, atau tidak sedikit film yang menggambarkan tentang penyanderaan. Mungkin kita pernah menyaksikan film mengenai atau bertemakan tentang penyanderaan. Apakah yang disandera itu sebuah pesawat terbang dengan banyak penumpang, atau yang disandera itu seseorang, biasanya anak orang kaya. Lalu, penyandera minta uang tebusan; ransom, begitu dalam bahasa Inggrisnya.
Kita menyaksikan film mengenai penyanderaan, kita bisa sedikit menghayati atau banyak menghayati kegelisahan orangtua yang anaknya disandera. Tapi seberat-beratnya mata memandang, begitu peribahasa, lebih berat bahu memikul. Kita bisa menyaksikan kisah penyanderaan, kita bisa sedikit atau banyak menghayati. Tetapi kalau kita sendiri menjadi korban; orangtua yang anak kesayangan, anak kecintaan, atau cucu kesayangan atau cucu kecintaan disandera, berapapun kita berani bayar. Kita pasti berani bayar. Uang, harta menjadi tidak bernilai, menjadi tidak berharga.
Satu nyawa dari orang yang kita cintai itu bisa lebih dari semua harta yang kita miliki. Tidak berlebihan, bukan? Ini tidak hiperbola dan tidak lebay. Kalau itu misalnya anak satu-satunya, kita bisa tukar nyawa kita sendiri, demi anak itu. Pernahkah kita berpikir bahwa kita adalah orang yang disandera oleh Iblis, dalam bayang-bayang api kekal, dan terpisah dari hadirat Allah selama-lamanya? Pernahkah kita berpikir kita adalah orang-orang yang sudah dieksekusi hukuman mati kekal; terpisah dari hadirat Allah selama-lamanya?
Coba, kita sebentar merenungkan hal ini. Jangan cepat-cepat merespons “sudah tahu.” Coba kita tenang, teduh sebentar, dan menghayati hal ini. Kita orang-orang yang disandera, dan tidak ada jalan untuk kelepasan. Tidak ada jalan untuk pembebasan. Tidak ada, kecuali satu korban yang harus dipertaruhkan. Yohanes 3:16, ayat yang sudah sering kita dengar, “Karena begitu besar kasih Allah kepada dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal.” His begotten Son; Anak-Nya yang tunggal. Tidak ada cara lain Allah Bapa dapat menyelamatkan kita, kecuali melalui Putra-Nya, Tuhan Yesus Kristus, yang Bapa relakan harus dipertaruhkan demi penebusan, pelepasan, pembebasan kita. Menjadi ransom; tebusan.
Kita renungkan kembali hal ini, supaya kita tidak lupa diri, supaya kita tidak menjadi orang yang bisa dianggap tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih. Bapa telah memberikan Putra-Nya yang tunggal. Secara dramatis, bisa dibayangkan ketika Putra Tunggal-Nya harus menjadi manusia, lahir dari dara Maria. Itu menggetarkan jagat raya. Pasti juga menggetarkan hati Bapa ketika harus melepaskan Putra-Nya yang tunggal, kesayangan-Nya ini. Kita harus ingat itu.
Kalau Tuhan menebus kita, kita menjadi milik Tuhan. Seperti yang dikatakan dalam 1 Korintus 6:19 dan 20, “tidak tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dengan harga lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” Ada satu pernyataan Tuhan Yesus di tengah-tengah orang-orang Yahudi yang menyerang diri-Nya. Ia tunjuk bait Allah, “rubuhkan bait Allah ini, Aku bangkitkan dalam tiga hari.” Pada waktu itu, bait Allah sudah dipugar selama kira-kira 46 tahun sejak tahun 16 sebelum Masehi.
Bagaimana mungkin bait Allah yang begitu megah waktu itu, sebelum dihancurkan Jenderal Titus tahun 70 dari Roma, hancur dan dibangun dalam tiga hari? Sekarang memang sudah menjadi puing, dan sedang diupayakan dibangun kembali oleh bangsa Yahudi. Namun, waktu itu masih megah, dan Tuhan Yesus berkata: “rubuhkan. Aku bangun tiga hari.” Maksud Tuhan Yesus sebenarnya adalah tubuh-Nya; itulah bait Allah. “Kamu rubuhkan, kamu bunuh tubuh ini, Aku akan bangkit dalam tiga hari.”
Kalau kita benar-benar hidup sebagai manusia yang memberi diri ditebus oleh darah Yesus, kita menjadi milik Tuhan. Seperti yang dikatakan di dalam firman Tuhan bahwa kita bukan milik kita sendiri; jadi milik Tuhan. Dan kalau kita menjadi milik Tuhan, Tuhan memiliki maksud dengan tubuh ini agar tubuh kita menjadi bait-Nya. Siapa yang mengikut Yesus, kalau kita sungguh-sungguh ikut Yesus, kita ikut, kita contoh, kita teladani cara dan gaya hidup-Nya. Dan memang demikian seharusnya. Seperti Yesus menunjukkan bahwa tubuh-Nya itu bait Allah, kita semua juga harus menerima dan mengakui tubuh kita ini bait Roh Kudus. Tidak bisa tidak. Tidak boleh tidak. Harus. Tubuh kita harus menjadi bait Allah.
Kalau tubuh kita menjadi bait Allah, berarti ada Ruang Kudus di dalam diri kita. Karena di dalam bait Allah ada Ruang Kudus, ada Ruang Mahakudus, di mana Allah hadir dan bersemayam. Dan kalau di dalam diri kita ada Ruang Mahakudus, kita harus menjaga Ruang Mahakudus itu. Betapa dahsyat dan hebat kalau kita mengerti ada Ruang Mahakudus di dalam diri kita. Itulah sebabnya Ia disebut “Imanuel; Allah beserta kita.” Beserta kita; beserta di dalam kita.
Dahulu kita adalah orang yang disandera oleh Iblis; namun Tuhan menebus kita, sehingga kita menjadi milik Tuhan.