Sungguh sangat menyedihkan ketika banyak orang Kristen yang merasa sudah baik, sudah menjadi orang beragama, rajin ke gereja, aktif di pelayanan dan di kegiatan gereja, bahkan jadi majelis, tetapi tidak bersekutu dengan Tuhan secara benar. Sehingga yang terjadi adalah mereka bertuhan hanya supaya rezekinya lancar, yang dalam problem masalah jodoh supaya dapat jodoh, yang mengalami problem sakit penyakit supaya dapat kesembuhan, dan lain sebagainya. Akhirnya, Injil ditawarkan sebagai solusi untuk pemenuhan kebutuhan jasmani. Zaman ini, Injil yang laku adalah yang trennya seperti itu, yang konsumtif bagi jemaat. Kekristenan diajar sebagai agama dengan berbagai atribut; bagaimana seremonial upacara atau liturgi, heboh puji-pujian dan musiknya, bahkan disertai tarian juga.
Bukan berarti itu salah, tetapi kalau hal itu menggantikan kekristenan yang sejati—yaitu bagaimana hidup seperti yang Tuhan kehendaki—maka itu adalah pemalsuan. Barang-barang bermerek dipalsukan, Tuhan pun dipalsukan, Injil juga dipalsukan, suasana hadirat Tuhan pun dipalsukan, suasana emosi yang meledak-ledak serta perasaan sentimentil diakui sebagai hadirat atau urapan Tuhan, dan itu seakan-akan punya nilai tinggi. Padahal, nilai tinggi seseorang adalah ketika dia bersekutu dengan Tuhan, yang menghasilkan impartasi spirit Tuhan dan gairah Tuhan dalam hidupnya, sehingga orang itu memiliki gaya hidup Yesus Kristus. Itu kan semestinya. Jangan digantikan dengan yang lain.
Akhirnya, kekayaan menjadi tujuan, apalagi kalau pembicara di mimbar tidak mengerti kebenaran ini. Jadi, seakan-akan Tuhan itu senang kalau anak-anak-Nya hidup tidak kesulitan ekonomi, sukses dalam karir, menonjol dalam bidangnya. Dan kalau Tuhan senang, maka Tuhan berusaha supaya anak-anak-Nya sukses. Tuhan bukan tidak senang, sebenarnya. Tetapi itu bukan inti. Yang menjadi intinya adalah anak-anak Tuhan berkelakuan seperti Yesus Kristus. Itu intinya. Maka dengan demikian, apa pun yang di lakukan setiap hari, itu bisa menyenangkan Tuhan, karena segala sesuatu dilakukan dari satu sikap hati yang benar terhadap Tuhan. Hati-hati! Kalau seseorang sudah tidak fokus bagaimana menjadikan Tuhan sebagai tujuan—yaitu bagaimana menemukan apa yang Dia ingin untuk kita lakukan—pasti dia akan menyimpang. Pasti!
Pasti baginya uang, harta, pangkat, gelar, kedudukan, apartemen, tanah yang luas, rumah yang bagus, menjadi tujuan. Perhiasan, kepuasan makan, minum, seks jadi kepuasan primer. Tidak bisa tidak. Sebab, inilah cara Iblis menggiring seseorang masuk ke dalam kebinasaan. Di Lukas 12:20-21, kita membaca pernyataan Tuhan mengenai seseorang yang kesibukannya hanya menambah hartanya. Akhirnya dia mati dalam keadaan tidak kaya di hadapan Tuhan. Dia sukses dalam karir, sukses dalam bisnis, tapi tidak kaya di hadapan Tuhan. Tragis. Jadi, orang yang kaya di hadapan Tuhan adalah orang yang berkarakter seperti Tuhan sendiri. Jangan sampai kita tidak bisa lagi dibelokkan mencari Tuhan karena kita sudah kaya. Setelah kaya, pikirannya hanya ditujukan bagaimana supaya menjadi makin kaya.
Maka, lebih baik tidak pernah menjadi manusia, daripada menjadi manusia tetapi tidak pernah menemukan Tuhan. Perjumpaan antara makhluk ciptaan—dalam hal ini manusia—dengan Tuhan adalah sesuatu yang sangat indah. Benar-benar luar biasa keindahannya. Bukan saja dinikmati oleh manusia, namun juga dinikmati oleh Tuhan sendiri. Itulah sebabnya Tuhan menghendaki sebuah persekutuan yang harmoni. Dan Tuhan hanya bisa bersekutu secara harmoni dengan orang-orang yang berkarakter seperti Tuhan sendiri. Sebenarnya, di sinilah letak nilai manusia. Namun, banyak manusia tidak mengerti karena memberi nilai dirinya secara keliru. Dia merasa bernilai kalau kaya, terhormat, atau jadi pemimpin.
Padahal, nilai kita bukan pada pangkat atau kekayaan tersebut, tetapi apakah kita menjadi manusia yang berkenan di hadapan Tuhan atau tidak. Jadi, kita tidak terhormat karena kita kaya. Sebaliknya, kita terhormat karena kita berharga di mata Tuhan, dan kita akan sungguh-sungguh terhormat kalau kita dimuliakan bersama Tuhan Yesus suatu hari kelak di dalam Kerajaan Surga. Makanya, kita tidak boleh memandang orang kaya seakan-akan lebih bernilai dari orang miskin. Jangan memandang orang yang berkedudukan tinggi seolah-olah lebih terhormat dari orang yang tidak memiliki jabatan. Tentu, sopan santun dunia mengajarkan kita yang memberi hormat kepada orang yang lebih tua, menempatkan orang kaya dan orang yang berkedudukan pada tempatnya, tapi jangan menghormati mereka karena kekayaan, kedudukan, atau kehormatan itu.
Jikalau kita yang semestinya punya kesempatan jadi manusia terhormat namun tidak bertumbuh menjadi manusia Allah, maka kita akan menjadi sampah abadi. Banyak hal yang mesti kita pelajari untuk memiliki karakter ilahi, dan Roh Kudus akan menolong kita untuk memiliki karakter Kristus. Jadi, sesulit apa pun kita harus temukan dan lakukan kebenaran yang sejati, sehingga kita akan mendapatkan pengertian-pengertian yang signifikan mengubah karakter kita.