Skip to content

Salah Memilih

 

Sebagai manusia, kita sering gagal memilih apa yang terbaik dalam hidup kita. Sementara itu, waktu tidak pernah bisa diputar kembali. Ada seorang yang hendak dieksekusi hukuman mati. Ketika ditanya apa yang ia harapkan untuk terakhir kalinya, ia menjawab, “Saya ingin kembali ke masa lalu dan memperbaiki yang salah dalam hidupku.” Sejatinya, pernahkah kita berpikir seperti itu?

Manusia pada dasarnya tidak ada yang bodoh. Yang ada hanyalah orang yang malas belajar. Tidak ada manusia yang langsung pintar sejak lahir. Seorang bayi tidak mungkin langsung bisa berbicara, berjalan, atau berlari. Bahkan seorang yang jenius sekalipun, jika tidak pernah belajar membaca atau melatih kemampuan berpikir, tidak akan menjadi pintar. Jadi, intinya: kalau kita ingin menjadi bijak dan berpengetahuan, tidak ada jalan kilat. Kita harus memilih—apakah kita akan menggunakan waktu untuk belajar, atau hanya untuk bersenang-senang. Apakah kita memilih untuk menunda pekerjaan demi kesenangan pribadi, lalu akhirnya terburu-buru menyelesaikannya dengan hasil yang tidak maksimal; atau kita memilih untuk segera menyelesaikan tugas dengan tanggung jawab?

Gantinya berdoa sebelum tidur, sering kali kita justru sibuk dengan media sosial sampai tertidur tanpa sempat berbicara kepada Tuhan. Gantinya belajar firman Tuhan, kita lebih suka membaca informasi yang tidak membangun kedewasaan rohani. Gantinya melakukan kebenaran, kita pura-pura tidak tahu apa yang benar. Kita pun akhirnya bertanya, bagaimana agar kita tidak salah memilih? Dalam hidup, banyak orang salah mengambil jalan karena tidak mau mendengarkan firman Tuhan atau menolak nasihat orang bijak. Alkitab mencatat sekitar 1.567 ayat yang berbicara tentang “mendengar.” Dalam Amsal 8:33 tertulis, “Dengarkanlah didikan, maka kamu menjadi bijak; janganlah mengabaikannya.” Alkitab juga berisi banyak kisah manusia yang dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit.

Abraham—bapak orang percaya—pernah juga berada dalam situasi pilihan yang rumit. Ia menerima saran dari istrinya, Sarai, untuk memperoleh keturunan melalui Hagar, hamba perempuan mereka. Ini bukan semata-mata karena ambisi Abram, melainkan karena permintaan Sarai sendiri. Hagar pun mengandung anak dari Abram. Tetapi setelah itu, Hagar menjadi sombong karena kehamilannya dan memandang rendah tuannya. Sarai tidak dapat menerima penghinaan itu, sehingga ia menindas Hagar hingga Hagar melarikan diri. Moral dan iman Abram, yang kemudian disebut Abraham, tidak hanya diuji di situ. Ia kembali diuji ketika Tuhan meminta agar ia mempersembahkan Ishak—anak semata wayangnya—sebagai bukti kesetiaannya kepada Allah.

Cucu Abraham, Esau, juga menghadapi pilihan besar. Ia menjual hak kesulungannya kepada adiknya, Yakub, bukan karena kebaikan hati, melainkan karena kelelahan dan kelaparan. Dalam keadaan lemah, ia tidak berpikir panjang dan menukar hak kesulungannya hanya dengan sepiring makanan—roti dan sup kacang merah. Ia lebih tergiur oleh kenikmatan sesaat daripada berkat yang kekal. Akibatnya, Esau menyesal seumur hidup atas kebodohannya.

Simson pun gagal memilih. Ia kehilangan kekuatan luar biasa yang diberikan Tuhan karena tergoda oleh rayuan Delila, perempuan yang berasal dari bangsa musuhnya. Kekuatan yang seharusnya digunakan untuk membela umat Allah justru hilang karena ia lebih mencintai Delila daripada Allah. Di situ Simson diuji: apakah ia setia kepada Allah atau kepada cintanya sendiri. Bahkan Tuhan Yesus, Putra Allah yang kudus, juga pernah dihadapkan pada pilihan. Iblis mencobai-Nya dengan tawaran kekuasaan atas dunia dan harta yang melimpah—sesuatu yang sangat menggiurkan bagi manusia. Tetapi Yesus menolak semua itu dan tetap setia kepada kehendak Bapa. Iblis pun kalah. Kini, pertanyaannya: bagaimana dengan kita?

Ketika kita dihadapkan pada berbagai pilihan hidup—antara taat atau melawan, antara kebenaran atau kompromi, antara kesetiaan atau keinginan dunia—apakah kita akan memilih seperti Yesus yang setia, atau seperti Esau, Simson, dan Hagar yang salah memilih? Setiap keputusan, sekecil apa pun, akan membentuk jalan hidup kita. Karena itu, jangan pernah menganggap remeh pilihan-pilihan yang kita ambil setiap hari. Dalam setiap keputusan, dengarkanlah suara Tuhan dan renungkan firman-Nya, agar kita tidak salah memilih dan menyesal di kemudian hari.