Skip to content

Sadar Salah

 

Manusia itu sering kali hanya fokus kepada hal-hal yang di bumi ini, kehidupan sebelum kubur. Mestinya fokus kita ada di balik kubur. Firman Tuhan mengingatkan bahwa manusia hidup bukan hanya dari roti. Ironis, banyak orang tidak sadar dan tidak mau peduli bahwa dirinya akan mati dan menghadapi kekekalan. Hari ini, banyak orang tidak mau ke gereja. Kalaupun ke gereja, mereka pergi hanya karena menjalani agama atau untuk mendapat pertolongan dan berkat. Masalahnya, banyak gereja yang hanya mengarahkan jemaat kepada berkat-berkat jasmani. Sambil gereja juga menarik uang kolekte, membangun gedung-gedung besar, atau secara terselubung memiliki “rekening gendut.”
Bumi kita ini nanti akan jadi danau api. Maka, kita mesti hanya menantikan langit baru bumi baru. Kita hanya menunggu waktu; apakah waktu kematian kita atau berakhirnya bumi ini. Tapi sering kita kehabisan kata untuk menjelaskan hal ini kepada orang-orang yang tidak peduli kekekalan; jemaat, aktivis, bahkan pendeta. Apa buktinya kalau mereka tidak peduli? Buktinya, mereka masih berbuat jahat; menyakiti orang, menghakimi, berzina, dan lainnya. Mungkin di antara kita sudah mencapai tingkat pendidikan tertinggi, tetapi kalau ditinjau dari sekolah rohani, sekolah kehidupan, apakah kita sudah sampai pada tingkat memuaskan hati Allah? Jadi tidak ada artinya segala pendidikan dan kehormatan apabila hidup kita tidak mengekspresikan perasaan Allah. Jadi jangan sombong dengan gelar, kredibilitas, atau popularitas kita.
Sekarang waktunya kita perkarakan, tingkat kerohanian kita terkait dengan mengekspresikan perasaan Allah, sampai di mana? Ayo, kita berjuang. Berdoa, mendengarkan khotbah, kita lakukan dengan tekun, maka kita akan mendapatkan impartasi penularan dari sifat-sifat Allah. Kadang-kadang, orang makin makin tinggi stratumnya secara akademis, makin tidak berdoa. Tidak tahu mengapa jadi begitu. Dulu waktu masih di daerah suka berdoa, waktu masih jadi jemaat rajin datang kebaktian, duduk, mencatat khotbah. Tapi setelah jadi teolog, dia tidak tekun lagi berdoa dan mencatat firman. Setan itu bisa buat begitu.
Jadi, jangan heran kalau di abad-abad pertengahan terjadi konflik dan perdebatan doktrin. Yang dianggap sesat itu bisa dibakar hidup-hidup, dikucilkan, atau dibunuh. Maka, kalau kita lihat di media sosial, mereka memang tidak membunuh secara fisik, tetapi dengan tega membunuh secara karakter. Masalahnya, kalau kita berdosa, hidup dalam dosa, Tuhan kadang-kadang diam. Kita sewenang-wenang dengan orang, kita menyerang orang lalu aman-aman saja. Nurani kita yang harus menyadari itu. Harus sadar dan kalau salah, kita bertobat dan minta ampun. Ucapan kita yang menyakiti orang, kebiasaan-kebiasaan yang melukai orang kita lakukan, seakan-akan aman-aman saja, seakan-akan Tuhan tidak terganggu: karena kita tidak mau bertemu Tuhan.
Kita akan sangat berbahagia ketika kita sadar bahwa kita salah atau meleset. Dan untuk itu, kita minta ampun dan memperbaiki diri. Pengampunan Tuhan itu luar biasa. Dia akan menyediakan pengampunan dan pemulihan, sekaligus. Hidup kita yang 70-80 tahun ini harus menjadi momentum yang berharga. Dan ingat, 70-80 tahun umur hidup kita bila dibanding kekekalan itu tidak ada artinya. Jadi, kalau kita manfaatkan waktu kita untuk bertemu Tuhan, nilainya tinggi sekali. Maka kita harus selalu menghayati bahwa kita ada di hadirat Allah 24 jam. Supaya kita itu selalu alert (waspada) ada candid camera, ada kamera Tuhan yang tidak pernah mati. Dia selalu melihat kita.
Maka, berhati-hatilah atas setiap kata yang kita ucapkan, setiap kalimat di gadget kita; jangan lakukan kecuali memang mau memberkati. Orang tua terhadap anak, jaga mulut, tidak boleh sembarangan mengutuk. Kita lihat, hidup ini begitu ganas, bengis. Tapi kita mau serius belajar. Kita semua tidak ada yang tidak punya salah. Jadi, kita semua orang berdosa. Tapi Tuhan baik, Tuhan mengampuni, Tuhan melupakan dosa-dosa kita dan Tuhan menyertai kita. Kita harus terus melangkah walaupun jatuh bangun. Jangan menjadi lemah dan bermental blok. Jangan berpikir kita tidak bisa hidup suci karena melihat dunia sekitar begitu rusak, melihat diri sendiri jatuh bangun, salah terus. Kita jangan putus asa.
Kita sama-sama punya kekurangan dan kelemahan, sama-sama hidup dalam daging yang berkodrat dosa, tetapi kita memutuskan untuk tidak menuruti keinginan daging, tidak menuruti keinginan dosa. Kita hanya mau turuti kehendak Allah. Dan kita berjuang untuk itu. Biar kiranya hati kita tertaruh di Kerajaan Surga dan selalu ingat bahwa kita sedang ada dalam perjalanan menuju surga. Dunia bukan rumah kita. Kita selalu sedang berkemas-kemas dan menuju Kerajaan Surga yaitu Rumah Allah Bapa. Jangan mengkhianati Tuhan dengan tidak merindukan Kerajaan Surga dan tidak merindukan perjumpaan dengan Tuhan Yesus, muka dengan muka nanti.