Skip to content

Resiko Pilihan

 

Dalam banyak kisah di Alkitab, kita menemukan orang-orang yang mampu mengambil keputusan dengan tepat dan bijak, namun tidak sedikit pula yang salah memilih. Alkitab secara jujur mencatat bahwa tidak semua kisah berakhir dengan baik akibat pilihan yang diambil manusia. Harus diakui, banyak orang telah salah memilih jalan hidup yang seharusnya mereka tempuh. Demikian pula hari ini, ada di antara kita yang sedang dihadapkan pada keputusan penting—memilih satu di antara dua hal yang tampak baik, namun hanya satu yang benar. Bahkan hal sederhana, seperti memilih untuk melanjutkan renungan ini atau berhenti dan beralih ke hal lain yang tampak lebih menarik, juga adalah sebuah pilihan.

Salah memilih dan salah menentukan langkah hari ini berarti menyiapkan penyesalan untuk hari esok, bahkan mungkin untuk masa depan, baik di bumi maupun di kekekalan. Sebab hidup adalah rangkaian pilihan. Apa pun yang kita alami hari ini adalah hasil dari pilihan-pilihan yang kita buat di masa lalu. Setiap kali kesalahan terjadi dan hasilnya tidak sesuai harapan, akumulasi dari semuanya adalah penyesalan panjang. Ada pepatah mengatakan, “Manis jangan cepat ditelan, pahit jangan cepat dibuang.” Pepatah ini mengingatkan kita untuk menimbang dengan bijak setiap hal yang masuk dalam pikiran sebelum kita benar-benar memutuskan untuk menerimanya atau melakukannya.

Tidak ada satu pun manusia yang dapat mengelak dari kenyataan bahwa hidup selalu menuntut pilihan. Hidup menyediakan ribuan pilihan, dan di balik setiap pilihan tersembunyi misteri masa depan yang tidak dapat ditebak. Sering kali kita mengira bahwa satu keputusan adalah akhir dari sebuah pilihan, namun ternyata di dalam pilihan itu sendiri masih terdapat banyak pilihan lain yang bahkan lebih sulit. Hidup manusia adalah rangkaian keputusan yang tidak pernah berhenti.

Setiap pilihan membawa risiko, setiap risiko membuka kemungkinan masalah, dan setiap masalah kadang menimbulkan bencana. Ada saat-saat di mana kita bersyukur atas keputusan yang kita ambil, namun ada juga waktu ketika kita menyalahkan keadaan—di awal, di pertengahan, atau di akhir perjalanan hidup—karena pilihan yang ternyata salah. Tujuan yang semula tampak indah berubah menjadi mimpi pahit. Pilihan yang tampaknya baik di awal bisa berbalik menjadi beban yang menyesakkan, menjengkelkan, bahkan menjadi malapetaka.

Ketika keadaan ini terus berulang dari hari ke hari, perlahan-lahan lahir rasa kecewa, benci, dan putus asa. Pada titik ini, manusia sering mempersalahkan Tuhan. Tidak jarang kita berkata dengan mudah, “Ini pasti karma dari kesalahan masa lalu.” Padahal, prinsip Alkitab bukan karma, melainkan hukum tabur-tuai: siapa menabur, ia akan menuai. Namun hukum ini tidak berarti setiap penderitaan adalah hukuman langsung dari Tuhan; sering kali, itu hanyalah akibat dari pilihan-pilihan yang kita buat sendiri.

Manusia yang terus dihadapkan pada berbagai pilihan hidup sering kali memilih jalan tengah agar tetap berada di zona nyaman, menghindari kerumitan. Kita jarang berpikir jauh ke depan: apakah tindakan ini benar-benar menguntungkan atau justru merugikan diri dan orang lain? Masalah muncul ketika hasil dari keputusan yang kita ambil ternyata tidak sesuai harapan. Seperti cahaya yang memantul dari cermin dan kembali ke sumbernya, demikian pula masalah akan kembali datang kepada kita jika penyelesaiannya dulu tidak tuntas.

Ada kalanya kita lebih memilih memindahkan beban hidup kepada orang lain agar mereka turut merasakan beratnya beban yang kita pikul. Kita tidak peduli apakah mereka sanggup memikulnya atau tidak, yang penting kita merasa lebih ringan. Padahal, setiap beban yang kita tanggung hari ini adalah konsekuensi dari pilihan-pilihan kita sendiri dan itu kadang menjadi beban yang harus kita pikul sepanjang hidup. Karena itu, janganlah kita menyerahkan beban itu kepada orang lain, dan jangan pula berkeluh kesah karena beratnya beban yang harus kita tanggung. Sebab kitalah yang telah memilih beban itu untuk kita pikul, dan itulah risiko dari setiap pilihan hidup yang kita ambil.