Skip to content

Punya Akses Langsung

 

Tuhan bekerja begitu cerdas untuk memperkenalkan diri-Nya kepada seseorang. Kalau seseorang belajar mengenai seseorang, maka segala seluk-beluk orang tersebut—kapan lahir, bagaimana dibesarkan, asal usul keluarga dan lain-lain—akan dia pelajari. Tapi hal itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan orang yang selalu ada di sampingnya. Namun dalam kaitan relasi dengan manusia, bisa tidak berdampak banyak atau mungkin tidak berdampak apa-apa. Tetapi kalau urusan dengan Tuhan, dampaknya luar biasa. Namun masalahnya adalah mengapa banyak orang tidak sungguh-sungguh mengalami Tuhan, tidak memiliki perjumpaan? 

Hal ini terjadi karena keberagamaan sering mengunci kehidupan umat lewat adanya dominasi tokoh. Seakan-akan hanya tokoh ini yang bisa menjadi perantara antara umat dan Allah. Memang saat di zaman Perjanjian Lama atau sebelum zaman penggenapan, umat tidak bisa langsung ketemu Allah karena tidak ada atau belum ada akses. Tetapi di zaman Perjanjian Baru, darah Yesus ditumpahkan sehingga semua kita bisa dibenarkan atau dianggap benar, bisa bersentuhan dengan Allah karena Roh Kudus dimeteraikan di dalam diri kita. Tubuh kita menjadi bait Allah. Tentu bait Allah punya ruang maha kudus, dan di ruang maha kudus itu pulalah ada perjumpaan antara pribadi kita dengan pribadi Allah.

Dan sebagaimana mestinya koneksi atau relasi ini tidak ada ‘blank spot’-nya, tidak ada on-off-nya. Seharusnya selalu terjadi atau selalu berlangsung. Tetapi kalau dikunci dengan kalimat ‘Tuhan itu misteri dan yang memiliki karunia khusus berhadapan dengan Allah itu hanya pendeta,’ itu pekerjaan setan untuk membuat orang menjadi bodoh. Mengerikan kalau suatu hari, saat kita tidak bisa ditemani siapa pun tetapi hanya bisa ditemani oleh Tuhan, dan ternyata kita tidak punya relasi dengan Tuhan. Betapa mengerikannya keadaan itu. Semua kita memiliki hak untuk punya akses langsung dengan Allah, Pencipta langit dan bumi melalui Putra-Nya, Tuhan Yesus Kristus. Yesus berkata, “Akulah jalan.” Ia menjadi jalan (Yun. hodos) kita menuju Bapa. Jadi bukan tujuan.

Jadi, jangan berpikir bahwa pengetahuan teologi itu hanya melalui bangku Sekolah Tinggi Teologi yang ditulis di buku, diformatkan dalam sistematika teologi, di dalam karya tulis, karya ilmiah, atau jurnal-jurnal. Allah yang hidup bisa kita temui. Apalagi Tuhan yang berkata, “Aku menyertai kamu selalu.” Lalu mengapa kita tidak ngotot menemukan Tuhan? Kalau seorang pria membutuhkan atau mengingini jodoh, atau sebaliknya, seorang wanita mengingini jodoh, ke mana pun rasanya dikejar atau diburu. Kalau orang ingin punya uang, apa pun dilakukan. Bekerja sampai kurang tidur, tidak apa-apa. Pergi ke mana pun dilakukan agar mendapatkan uang. Kenapa untuk Tuhan kita tidak memiliki dinamika ‘apa pun`? 

Nanti, giliran kita tidak bisa ditemani siapa pun, baru kita memanggil Tuhan. Itu kecurangan, dan Tuhan akan berkata, “Aku tidak kenal kamu.” Maka, jangan kita hanya setuju-setuju saja apa yang kita baca ini, namun kita harus memiliki langkah-langkah konkret untuk mengisi hari hidup kita. Dan ingat, betapa berharganya waktu yang kita miliki ini. Jadi jangan kita sampai kehilangan momentum atau kesempatan. Kalau hari ini kita meninggal, apakah kita yakin kalau kita dikenal Tuhan? Buktinya apa? Kalau kita masih takut mati, dan tidak punya kerinduan bertemu Tuhan, itu sebenarnya ciri bahwa kita memang tidak kenal Tuhan, apalagi dekat. Lalu, setelah mati, mau sok dekat, sok akrab? Tidak bisa.

Kenapa kita tidak serius mencari Tuhan? Jangan mengisi waktu sia-sia. Sediakan waktu minimal 30 menit untuk menghadap Tuhan setiap hari. Sama seperti kalau kita ingin punya keahlian, maka kita harus ikut kursus. Bahkan berapa pun kita bayar. Namun, mengapa untuk Tuhan kita tidak memiliki perhatian seperti itu? Coba kita perhatikan ini, saat kita tidak menunjukkan ketekunan mencari Tuhan, dan anak-anak kita melihat itu, mereka akan berkata, “Tuhan murahan, papa mama tidak sungguh-sungguh mencari Tuhan. Berarti Tuhan tidak terlalu penting, Tuhan tidak segalanya.” Padahal, semua kita punya kesempatan eksklusif dengan Tuhan.

Kita harus memiliki ambisi untuk menjadi orang istimewa di mata Allah. Tidak istimewa di mata manusia, tidak apa-apa. Tuhan itu ada, Tuhan itu hidup. Maka ketika kita harus mengalami banyak masalah berat yang melampaui kekuatan dan benar-benar bisa membuat kita malu, kita cukup ‘merem’ dan memandang Tuhan. Kita menantikan pertolongan Tuhan. Jadi, kalau kita menjadi anak-anak Allah, percayalah, Tuhan tidak akan mempermalukan, namun masalahnya, seberapa kita eksklusif dengan Dia?