Skip to content

Puncak Kebahagiaan

Saudaraku, 

Melewati panjangnya masa pelayanan saya, akhirnya saya mendapati bahwa tidak ada kebahagiaan dalam hidup ini kecuali Tuhan. Tetapi orang tidak akan mengenal kebahagiaan berkualitas kekal sebelum mengalami Tuhan. Secara teori, orang bisa berbicara tentang Tuhan, tentang kebahagiaan. Tetapi belum tentu dia benar-benar mengerti bahwa Tuhan itu adalah satu-satunya kebahagiaan, apalagi mengalami. Tuhan bukan hanya menjadi teori, Tuhan bukan hanya menjadi pengetahuan yang dipercakapkan, didiskusikan, ditulis dalam buku, dikhotbahkan, dan diseminarkan. Tapi Tuhan yang dijumpai, Tuhan yang dialami. 

Kalau orang masih memperhitungkan dan mempertimbangkan sesuatu sebagai kebahagiaan, pasti dia akan tertipu di situ, dia akan terjebak di situ. Seperti serangga yang terjebak di jaringnya sendiri. Sebagai orangtua, kita tentu ingin melihat anak-anak kita sehat, sukses, dan bahagia. Benar dan tidak salah. Tetapi jangan sampai kita tidak menjadikan Tuhan sebagai kebahagiaan kita satu-satunya. Jangan sampai hal itu pada akhirnya menjadi berhala. Lalu, mengapa banyak orang tidak mengalami Tuhan sebagai kebahagiaan? Ternyata, dibutuhkan keberanian, sebab hal ini bukanlah hal yang sederhana. Kita harus berani untuk mengambil keputusan bahwa kita mau pulang dengan tidak membawa apa pun. Jadi, untuk bisa menjadikan Tuhan sebagai puncak kebahagiaan kita, maka: 

Yang pertama, jangan mempertimbangkan atau memperhitungkan sesuatu sebagai kebahagiaan. Apa pun itu. Apakah itu keluarga, harta, pendidikan, status, sanjungan manusia, hawa nafsu daging (kuliner dan seks), bahkan pelayanan. Pada akhirnya semua yang kita miliki ini akan lenyap; tidak ada yang kita bawa. Sekecil apa pun, tidak ada sekeping uang atau segenggam tanah yang akan kita bawa. Jadi, kita makin hari makin menanggalkan semua keinginan supaya kita dibawa ke puncak kebahagiaan. Jangan merasa bermilik apa pun.

Yang kedua, harus hidup tidak bercacat tidak bercela. Kita belajar menjaga mulut, menjaga perkataan. Jangan sampai perkataan kita merusak suasana hadirat Allah di dalam hidup kita. Jangan sampai suasana hadirat Allah rusak karena kehidupan kita yang bercacat atau bercela. Ingat! hanya kesucian hidup yang akan membuat kita berani “berdiri di hadapan takhta pengadilan Kristus.” Dan itu harus kita rajut sejak sekarang, bukan nanti. Dimulai dari hal-hal yang kita anggap sepele, yang kita anggap tidak akan berakibat besar. Padahal nasib kekal kita dimulai dari keputusan-keputusan kecil yang kita anggap tidak berdampak besar.

Yang ketiga, karakter kita harus dibentuk. Sebab tidak mungkin orang bisa menikmati Tuhan dan bisa dinikmati Tuhan dengan karakter yang buruk. Tuhan tidak bisa dinikmati oleh orang-orang yang karakternya buruk. Bersyukur kalau Tuhan proses kita luar biasa; yang melaluinya memberi pelajaran yang sangat berharga. Sebab ternyata melalui proses itu, kita diajar Tuhan untuk lebih rendah hati, lebih lemah lembut, karakter kita dibentuk. Maka Yesus berkata di Yohanes 14:24, “Damai sejahtera yang Kuberikan kepadamu tidak seperti yang diberikan dunia.” Karakter rusak bagaimana pun, masih bisa menikmati dunia dengan segala keindahannya. Dalam hubungan dengan Tuhan, orang percaya pasti berbeda. Damai sejahtera Tuhan hanya bisa dinikmati oleh orang yang hatinya diperbaharui oleh Tuhan.

Saudaraku, 

Kalau kita mencintai seseorang, seharusnya bukan karena dia punya harta atau karena alasan lain, tapi karena memang cinta, karena memang sayang. Kalau kita dekat dia, kita menikmatinya. Kehadirannya itu dinikmati. Ada semacam ikatan adikodrati yang tidak bisa dibahasakan dengan bahasa manusia. Ada sebuah ikatan. Allah yang hidup mestinya Allah yang bisa kita rasakan kehadiran-Nya. Dengan kehadiran Tuhan yang benar-benar kita rasakan, Allah yang nyata itu baru kita bisa nikmati.

Kalau kita mau memiliki surga, kita harus lepaskan dunia. Kita tidak memiliki kedua-duanya. Kita harus memilih. Orang yang menjadikan Tuhan sebagai puncak kebahagiaannya adalah orang yang juga dijadikan Tuhan sebagai kesukaan-Nya. Mari kita menjadi orang yang dinantikan oleh semua penghuni surga. Bukan saja kita yang menantikan Tuhan, tetapi juga Tuhan menantikan kita. Mari kita berubah, Saudaraku, sampai kita bisa mengikrarkan, “Tuhan Yesus, Engkaulah kerinduan hatiku. Mutiara tak ternilai harta milikku. Keindahan-Mu memudarkan dunia. Di mataku, Engkau termulia.”

Teriring salam dan doa,

Erastus Sabdono

Orang yang menjadikan Tuhan sebagai puncak kebahagiaannya adalah orang yang juga dijadikan Tuhan sebagai kesukaan-Nya.