Manusia adalah makhluk yang luar biasa. Makhluk yang hebat, yang diberi potensi untuk mengenal siapa Penciptanya, agar dapat menempatkan diri secara benar di hadapan Penciptanya; mengerti apa yang Penciptanya kehendaki untuk dilakukan, mengerti rencana-rencana Penciptanya untuk ditunaikan dalam hidupnya. Sekaligus terkait dengan hal ini, manusia diberi kemampuan untuk mengenal dirinya sendiri. Pengenalan akan Allah yang benar itu terkait dengan pengenalan akan diri sendiri. Orang yang mengenal Allah dengan benar, akan mengenal diri sendiri dengan benar pula. Orang yang mengenal diri sendiri dengan benar akan pasti bisa menempatkan dirinya sendiri secara benar di hadapan Penciptanya, memperlakukan Khalik Penciptanya dengan benar, memperlakukan orang lain dengan benar, memperlakukan alam sekitarnya di mana manusia harus bertanggung jawab dengan benar, dan ia tentu juga dapat memperlakukan dirinya dengan benar pula.
Itulah sebabnya, hal mengenal Allah harus merupakan satu-satunya agenda hidup kita. Seandainya Adam dan Hawa—sebagai nenek moyang manusia—tidak jatuh dalam dosa, mereka dapat mengenal Allah dengan benar dan dapat menempatkan diri dengan benar di hadapan Allah. Secara otomatis, pengenalan tersebut akan terwariskan kepada anak cucu dan keturunannya tanpa pergumulan yang berat. Tetapi berbeda dengan keadaan kita hari ini, dimana manusia telah rusak sehingga tidak mengenal Penciptanya secara benar. Karena tidak mengenal Allah Penciptanya—yang juga Bapanya—secara benar, maka ia juga gagal mengenali dirinya sendiri. Sebagai buktinya, orang tidak berusaha untuk menjadi seseorang seperti yang Allah kehendaki. Sebaliknya, manusia pada umumnya atau hampir semua manusia, berusaha menjadi seseorang seperti yang dipolakan oleh dunia.
Ironis, hampir semua manusia berjuang untuk menjadi seseorang seperti yang dia lihat, yang dia kenali, dan yang dianggap bernilai karena tampak bahagia, dirasa bahagia, tersanjung, terhormat, dianggap penting. Tetapi, mereka tidak berjuang menjadi seseorang seperti yang Dia kehendaki. Dan inilah yang dimaksud dengan “hidup berjalan di dalam gelap.” Di dalam Injil Yohanes 1, firman Tuhan mengatakan, “dalam Dia ada hidup, dan hidup itu adalah terang manusia.” Maksudnya “hidup” di sini adalah kualitas hidup yang Allah kehendaki, yang Allah Bapa juga miliki. Karena manusia diciptakan bukan hanya menurut gambar Allah, melainkan juga memiliki pikiran dan perasaan seperti Allah juga memilikinya. Dengan pikiran dan perasaan itu, manusia bisa membuahkan keinginan atau kehendak. Allah menghendaki manusia yang serupa dengan Dia bisa membuahkan keinginan-keinginan yang sesuai dengan Allah. Kehendak atau keinginan yang didasarkan pada asas keadilan, kejujuran, kasih, seperti hakikat yang ada pada Allah, yaitu kasih.
Jadi, seandainya manusia tidak jatuh dalam dosa, tidak kehilangan kemuliaan Allah, manusia bisa memproduksi keinginan atau kehendak dengan standar Allah. Sehingga, tidak ada tindakan manusia yang melukai sesamanya, tidak ada tindakan manusia yang mengagungkan dirinya sendiri, tetapi manusia akan selalu mengagungkan Allah. Manusia diberi kemampuan itu, namun manusia telah memilih jalan yang salah, seperti domba sesat. Kalau dikatakan “domba sesat,” bukan hanya berarti tidak pernah ke rumah ibadah, atau perilakunya bejat, melanggar moral atau tatanan etika umum. “Sesat” artinya tidak mengerti apa yang Penciptanya ingin untuk dia lakukan. Sejatinya, setiap individu harus mengerti apa yang dikehendaki oleh Allah di dalam hidupnya; yang tentu sangat khas dan khusus, karena setiap orang memiliki keunikan.
Oleh karena itu, jangan kita dibodohi dan disesatkan oleh orang-orang yang merasa mengenal ajaran atau doktrin yang benar menurut klaimnya, tetapi dari perilaku dan ucapannya tidak menjadi berkat bagi orang lain. Seseorang dapat bergelar tinggi, namun hal tersebut tidak dapat menjadi ukuran pengenalan akan Allah. Malah, semakin seseorang bergelar tinggi, sering kali Allah hanya menjadi objek penelitian atau fantasi. Untuk itu, kita harus jujur dengan diri sendiri di tengah-tengah simpang siurnya pengajaran dan perdebatan teologi. Jujurlah dengan diri sendiri, untuk bisa mengenali diri sendiri dengan baik, sekaligus belajar mengenal Allah. Jika Tuhan benar-benar hidup, mestinya kita bisa menemukan Dia tanpa terbatas pada strata pendidikan atau jabatan gerejawi tertentu. Strata pendeta yang disebut “hamba Tuhan,” dan jemaat yang disebut “orang awam” benar-benar menyesatkan dan membuat orang jadi bodoh.
Alkitab mengatakan dalam 1 Petrus 2:9 bahwa semua orang percaya adalah imam-imam; musketeers. Kita adalah orang-orang yang melayani Allah. Juga di dalam 1 Korintus 6:19-20, dikatakan bahwa semua orang harus hidup bagi Allah. Jadi, semua orang percaya yang ditebus oleh darah Yesus adalah hamba Tuhan. Tidak ada strata. Memang di dalam gereja ada jawatan; ada rasul, nabi, gembala sidang, guru agama, penginjil. Tetapi dalam Kerajaan Allah, semua kita duduk sama rendah; berdiri sama tinggi, tergantung prestasi rohani masing-masing. Oleh sebab itu, carilah Tuhan. Jangan hanya memiliki pengalaman liturgi di gereja, lalu merasa sudah berjumpa dengan Tuhan di gereja. Jangan beranggapan bertemu Tuhan adalah karunia khusus untuk orang-orang tertentu.
Dalam Kerajaan Allah, semua kita duduk sama rendah; berdiri sama tinggi, tergantung prestasi rohani masing-masing.