Bapak/Ibu, Saudaraku sekalian,
Sejujurnya, betapa sedikit orang yang sungguh-sungguh beriman atau bertuhan. Kembali saya mengangkat apa yang diucapkan Tuhan kita Yesus Kristus di Lukas 18:8, “Jika Anak Manusia datang, apakah Ia mendapati iman di bumi?” Dengan kalimat lain, “apakah Dia mendapati orang percaya yang benar, orang yang beriman dengan benar? Apakah Ia mendapati orang yang dinilai oleh Bapa, dirasakan oleh Bapa sebagai berkenan kepada-Nya?” Sejatinya, itu yang harus kita usahakan, yang terus kita perjuangkan, yaitu bagaimana kita menjadi seorang yang beriman dengan benar menurut standar kebenaran Allah.
Kita harus sungguh-sungguh memperkarakan hal ini, Saudaraku. Ada orang yang setiap hari, setiap jam, bisa melihat saldo uangnya, apalagi kalau dia sedang dalam bisnis. Dia lihat saldo, apakah tambah, apakah kurang. Mengapa kita tidak setiap hari, setiap jam melihat kehidupan rohani kita ini, ‘apakah di hadapan Tuhan kita dinilai beriman dengan benar?’ Karena banyak hal yang bisa mendistorsi, merusak kehidupan iman kita, Saudara. Apakah kita masih ada dalam posisi yang berkenan di hadapan Allah? Itu yang kita usahakan, Saudara.
Salah satu usaha yang kita lakukan—bukan satu-satunya—adalah berdoa. Orang mungkin memandang kita dengan rasa heran, mengapa mesti berdoa, berdoa, dan berdoa. Ada apa? Saudara melihat polusi di Jakarta begitu berat. Polusi itu polusi fisik, Saudara. Tahukah Saudara bahwa polusi rohani juga luar biasa? Dari segala hal, Saudara masuk kantor, say hello dengan teman, ngomong sedikit, polusinya sudah masuk. Saudara membuka gadget, polusi. Saudara buka TV, polusi. Polusi itu masuk di dalam kehidupan kita tanpa kita sadari. Kita menghirup, kita menghisap polusi, Saudara. Kita menyerap hal-hal yang menajiskan pikiran kita. Yang akhirnya bisa menajiskan tubuh, artinya menjadi nafsu di dalam daging.
Tidak sedikit orang yang mengeluh, bagaimana bisa hidup suci, kok gagal lagi, kok jatuh lagi? Ya, karena polusinya begitu kuat, kuat sekali. Yang mengerikan adalah ketika pendeta, hamba Tuhan yang merasa diri sudah kuat, sudah baik, sudah benar, memiliki konsep-konsep tentang Tuhan yang kokoh, tapi dia tidak sadar polusi dunia itu merusak dirinya. Akhirnya, mereka tidak memiliki gairah rohani yang bersih, yang kudus, yang tulus. Saya pendeta, jadi saya tahu dan mengerti benar hal ini. Saudara, polusi. Bagaimana kita membersihkan polusi ini? Ya, salah satu, bukan satu-satunya, kita berdoa sebanyak mungkin, Saudaraku.
Kita menghadap Allah Abraham, Ishak, dan Yakub, Bapa yang penuh belas kasihan. Kalau kita berlindung kepada-Nya, Bapa mau melindungi kita. Melindungi kita, yang pertama, dari kuasa kegelapan; yang kedua, dari daging manusia lama kita; yang ketiga, dari pengaruh jahat dunia kita ini; yang keempat, dari orang-orang yang bermaksud jahat terhadap kita, dan yang terakhir, masalah. Tetapi yang penting, kita berlindung kepada Tuhan dari ancaman yang membuat kehidupan kita kotor. Hanya Tuhan yang bisa melindungi kita, apalagi sejak anak-anak muda, remaja juga sudah dikotori, dicemari oleh polusi dunia.
Ada satu pernyataan dari seorang ibu yang anaknya masih SLTP. Teman anaknya, tiga orang SLTP, hamil. Bayangkan, hamil dalam usia begitu dini. Belum lagi gaya hidup yang begitu bebas sekarang ini. Termaasuk film-film dan media sosial, ada hal-hal yang kelihatannya tidak salah, namun kalau Saudara serap, itu merusak pikiran, serius merusak. Kepekaan seperti ini tidak akan dimiliki oleh orang yang tidak duduk diam di kaki Tuhan, yang tidak mencium keharuman kesucian Allah. Kita harus mencium keharuman kesucian Tuhan, sehingga ketika kita melihat sesuatu, mendengar sesuatu yang tidak sinkron dengan kekudusan Tuhan, ada resistensi di dalam diri kita.
Maka, mari kita keluar dari keadaan ini. Kita di tengah-tengah dunia, dan masih hidup di tengah-tengah dunia, tapi kita tidak dicemari. Kita bisa tidak dicemari. Ingat, Saudaraku, ikan yang hidup di laut tidak menjadi asin kecuali ikan itu mati. Dia bisa diasinkan oleh air laut, tapi kalau ikan itu hidup, dia tidak bisa diasinkan. Kalau hidup rohani kita nyata/ada, maka dunia tidak bisa mewarnai, memberi rasa kepada kita. Jadi, kita harus benar-benar melarikan diri, Saudara, menyingkir, mengasingkan diri. Dan di tengah-tengah kesibukan, kita memberi waktu untuk berdoa, tentu juga mendengar firman.
Saudaraku,
Bagaimana caranya seorang hamba Tuhan memberi makan domba-domba Tuhan? Dia harus berubah, terus bertumbuh, sehingga bisa menjadi saluran berkat. Jadi, kalau hamba Tuhan membersihkan dirinya dari hal yang najis, artinya hidup suci dan tidak mencintai dunia, maka dia bertumbuh terus, dan dengan demikian dia mempersiapkan dan memberi makanan untuk jemaat. Bayangkan, kalau pendeta senang nonton film, senang membicarakan hal-hal yang tidak kudus, maka pada waktu di mimbar, apa yang dia sampaikan? Level kehidupan rohani yang dia capai harus terus berubah, sehingga dapat memberi makan kehidupan rohani jemaat.
Bahkan kemudian, kalau orang muda terus bertumbuh dalam kekudusan, hidup benar di hadapan Allah, dia pasti diberkati. Dia bisa membalas orang tua, dia bisa membangunkan rumah untuk orang tua, dia bisa mencukupi kebutuhan orang tua. Orang tua (Bapak/Ibu) bisa memberi makan ke anak-anaknya, makanan rohani juga makanan jasmani. Makanan rohani dan fasilitas, kalau hidup kita ini diberkati Tuhan. Tapi bagaimana diberkati kalau hidup kita tidak benar, Saudaraku? Jadi, para hamba Tuhan, kita harus benar-benar melekat dengan Tuhan.Top of Form
Jangan menjadi instrumen setan. Pekerjaan Tuhan itu besar-besar sekali, Saudara. Banyak orang meluncur menuju kegelapan abadi. Kita harus menyediakan diri menjadi saluran berkat untuk memberkati dunia. Kita bisa memetakan hidup kita. Kita sukses atau tidak tergantung kita; bagaimana kita mengatur hidup kita dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, dari jam ke jam. Apa pun kita lakukan demi supaya kita menjadi berkat. Kalau seorang hamba Tuhan terdistorsi, tidak bersih, kotor, maka ia tidak bisa memberkati.
Teriring salam dan doa,
Dr. Erastus Sabdono
Polusi dunia masuk di dalam kehidupan kita tanpa kita sadari, yang akhirnya bisa menajiskan rohani kita