Pada umumnya, semua kita atau semua manusia atau hampir semua manusia, mengharapkan adanya perubahan; keadaan yang berubah sesuai dengan keinginan atau harapan. Petani ingin apa yang ditanamnya, bertumbuh, dan suatu hari menghasilkan buah. Pebisnis mengharapkan bisnisnya berkembang menjadi lebih baik. Orang yang berkarier mengharapkan kariernya sukses, dan bisa lebih berhasil dalam karier tersebut. Dan banyak lagi contoh di dalam kehidupan ini di mana kita mengharapkan keadaan berubah menjadi baik atau positif. Di setiap akhir tahun, kita mengharapkan keadaan di tahun yang baru menjadi lebih baik.
Pertanyaannya, apakah kita memperhatikan perubahan hidup rohani kita? Apakah kita memberikan perhatian yang sepatutnya dalam hubungan kita dengan Tuhan? Apakah hubungan kita semakin intim dengan-Nya? Apakah hidup kita semakin berkenan kepada Tuhan atau tidak? Apakah kita semakin takut akan Allah, semakin menghormati Dia, semakin berkorban, semakin sepenanggungan dengan Tuhan, atau tidak? Sedikit sekali orang yang serius memperhatikan hal ini. Jangan-jangan, kelelahan kita, kesibukan kita di dalam liturgi gereja, sia-sia. Ini hanya permainan agama atau permainan liturgi. Atau ini sekadar sebuah aktivitas yang menjadi bagian hidup, di mana dari dalamnya kita dapat memperoleh keuntungan.
Mari kita serius, sebab perubahan apa pun yang kita alami, itu tidak ada nilainya kecuali perubahan dalam relasi hubungan kita dengan Tuhan. Itu satu-satunya yang bernilai dan abadi. Jangan anggap sepi, jangan anggap sepele hal ini. Kuasa dunia membuat kita hanyut dengan segala kesibukan. Kita tidak boleh tidak sibuk, kita harus sibuk. Tetapi jangan sampai kesibukan itu hanya menghasilkan sesuatu yang bernilai fana. Jadi, bukan tanpa alasan kalau Kitab Suci berkata, “Baik kamu makan atau minum atau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semua itu untuk kemuliaan Tuhan.” Banyak kesibukan gereja yang tidak membuat orang mengalami perubahan secara rohani. Orang yang ada di lingkungan gereja saja belum tentu mengalami perubahan terkait dengan kehidupan rohaninya—walaupun tidak semua dan tidak mutlak—apalagi orang yang tidak ada dalam lingkungan gereja.
Setan itu jauh lebih cerdik dari yang kita duga. Setan jauh lebih cerdas dari apa yang kita bayangkan. Jadi, jangan anggap remeh manuver dari kuasa kegelapan ini, yang sering dilabeli “sudah kalah, sudah tidak berdaya, diinjak di bawah kaki.” Oknum ini nekat, mobilitasnya tinggi sekali. Nekat, artinya kepada Allah Yang Maha Besar, Maha Tinggi saja berani memberontak. Jangan merasa diri kita sudah aman. Ditambah lagi dengan pembenaran diri karena sudah jadi Kristen, rajin ke gereja, tidak melakukan pelanggaran moral, apalagi sebagai pendeta atau aktivis, merasa diri kita ini sudah memiliki keadaan yang baik dan berkenan di hadapan Tuhan, dan tidak pernah serius untuk melihat progresivitas rohaninya. Bahaya sekali.
Kalau jujur, harus dikatakan hampir semua orang tidak peduli hal ini. Jadi bukan tanpa alasan kalau Yesus berkata, “Banyak orang yang mengingini, tetapi sedikit sekali orang yang masuk surga.” Bukan tanpa alasan kalau Tuhan Yesus berkata, “Jika Anak Manusia datang kembali, apakah Ia mendapati iman di bumi?” Kita tidak boleh tenang-tenang saja, tidak boleh. Kita harus selalu waspada terhadap keadaan diri kita. Kalau berhadapan dengan Tuhan, kita bertanya, “Apa penilaian Tuhan terhadap diriku, apakah Tuhan puas?” Sebab Tuhan menghendaki hidup kita berbuah. Jika tidak berbuah, Tuhan potong dan buang.
Alkitab berkata “Tubuhmu adalah bait Roh Kudus.” Itu berarti Roh Allah ada di dalam kita. Kalau tubuh kita adalah bait Allah, maka masalahnya adalah apakah kita membuka diri terhadap kehadiran Allah di dalam hidup kita? Kalau bisa menghayati hal ini, maka kita pasti bisa berdoa lama. Kita berdoa tidak seperti melempar suara ke ruangan kosong. Karena Roh-Nya ada di dalam diri kita. Waktu kita diam mengangkat tangan tapi hati kita berbicara, kita berdialog dengan Allah, dan dialog itu harus dikembangkan sampai kita bisa mendengar suara-Nya di dalam batin kita. Bukan spekulasi. Sesuatu yang pasti, karena Tuhan yang berfirman di dalam 1 Korintus 6:17, “Siapa yang mengikatkan dirinya dengan dengan Roh Allah, menjadi satu roh.”
Jadi karena tubuh kita adalah bait Allah, maka kita tidak boleh mencemarinya dengan kotoran sekecil apa pun. Pikiran kita harus bersih, jiwa kita harus bersih. Dan yang menentukan bersihnya tidaknya diri kita adalah diri kita sendiri; tergantung kita. Apa yang kita masukkan di dalam taman jiwa kita, tergantung kita. Kita buka pintu selebar-lebarnya, sehingga bisa apa pun masuk, bisa. Atau kita tutup serapat-rapatnya, sehingga tidak ada yang bisa masuk, juga bisa. Kita yang harus selektif, apa yang boleh masuk, apa yang tidak.