Perubahan cara berpikir melahirkan pengertian yang baru. Jadi, tidak heran kalau seorang hamba Tuhan bisa menulis buku begitu banyak, karena dia terus mengalami perubahan cara berpikir. Juga materi khotbah yang selalu memberi pencerahan. Sejatinya, khotbah itu bukan hanya membedah Alkitab atau mengeksposisi Alkitab. Khotbah harus memuat pesan saat itu dan setiap kebenaran yang dikemukakan harus ada implikasinya. Itulah sebabnya teologi yang benar itu mengubah; baik si pembicara maupun yang mendengar. Dan perubahan itu akan dirasakan dan dibuktikan orang sekitar kita. Sebab kalau hanya perdebatan teologi, itu tidak ada habisnya sebab teologi itu bisa ditarik ke mana pun seperti karet, dan orang biasanya selalu mengaku dirinya paling benar.
Jadi, perubahan pola berpikir dari kebenaran-kebenaran yang kita dengar, sejatinya mengakibatkan perubahan arah hidup. Ini lebih dari perubahan moral. Perubahan arah hidup ini menyangkut seluruh filosofi hidup kita, menyangkut perubahan sikap hati, sikap batin, seluruh gaya hidup kita, dan arah hidup kita itu bisa ke arah dunia yang akan datang. Dan itu tidak pernah bisa kita alami dulu. Karena itu, perubahan pola berpikir ini harus terjadi terus-menerus. Kalau dalam bahasa Ibrani, syub שׁוּב)), artinya berbalik. Kalau di dalam bahasa Yunani, metanoia (μετάνοια). Dan bagi orang percaya, perubahan pola berpikir itu merubah seluruh filosofi hidup, sikap hati, sikap batin, sampai kita merasa bukan berasal dari dunia ini. Ini hal yang sangat penting, karena akar segala kejahatan adalah cinta uang. Jadi yang harus dikalahkan adalah cinta uang itu, sampai kita merasa bukan berasal dari dunia ini.
Maka, transformasi adalah perubahan yang berlangsung terus-menerus atau berkesinambungan; bukan sebuah momentum, melainkan sebuah proses yang harus berlangsung setiap hari. Dan Tuhan itu luar biasa mengubah kita. Dari logos (λόγος) yang kita dengar, jadi firman dalam bentuk pengertian. Lalu, melalui pengalaman-pengalaman hidup dimana kita mendengar Tuhan berbicara berdasarkan logos yang pernah kita terima tersebut, hingga menjadi rhema (ῥῆμα). Dan itu lebih menggores. Kalau kita mendengar firman, “kasihi musuhmu,” itu terekam di dalam pikiran kita. Namun pada saat kita dimusuhi, hati kita sakit, lalu kita mendengar suara itu “kasihi musuhmu” dan kita menjalaninya, maka itu menggores lebih dalam menjadi nurani kita. Allah tidak bisa merubah kita tanpa peristiwa, tanpa kejadian. Itulah sebabnya Allah bekerja dalam segala hal mendatangkan kebaikan.
Dalam sejarah dapat dijumpai bahwa setiap perubahan hampir selalu melalui mekanisme proses, hasil perjuangan setiap individu. Bukan sesuatu yang instan. Eropa itu bisa diselamatkan karena mendengar Injil lewat kerja keras para rasul, khususnya rasul Paulus, lewat perjalanan waktu yang panjang. Demikian pula kita. Kita bisa mengalami perubahan itu juga harus melalui proses panjang. Pertanyaannya, mengapa Tuhan menghendaki orang percaya terus-menerus mengalami proses pembaharuan pikiran? Sebab apa yang menguasai pikiran kita, menguasai kita. Kalau kita ke gereja seminggu sekali mendengar khotbah—yang khotbahnya pun belum tentu jelas—maka kita tidak memiliki pikiran Alkitab, pikiran Tuhan.
Sejatinya, dalam setiap pertemuan rohani pasti ada sesuatu yang dipersiapkan atau sirkuit yang akan menjadi ledakan. Jadi, tidak bisa meledak dalam satu kali mendengar khotbah. Sehingga, mestinya setiap kali ada kesempatan mendengar khotbah, kita dengarkan. Namun, untuk menemukan getar hati yang bisa berkata, “bawa aku ke surga,” itu perlu ledakan. Merubah pola berpikir bukan sesuatu yang mudah. Membutuhkan waktu, kerja keras, dan Tuhan tidak menyulap pola berpikir kita berubah menjadi pola berpikir yang baru seperti yang Dia inginkan, dalam sekejap.
Kalau kita nanti suatu hari menghadap Tuhan, lalu melihat hukum kebenaran ini, kita akan sangat menyesal kalau kita tidak memanfaatkan kesempatan yang berharga ini. Kita tidak boleh terjebak dengan urusan organisasi, sebaliknya, kita harus fokus kepada kebenaran yang merubah kita. Pembaharuan di sini artinya sama dengan pembaruan pengertian yang terus-menerus berlangsung sehingga kita memiliki kesadaran terhadap realitas Allah. Realitas Allah dihayati berbeda oleh masing-masing kita. Apabila penghayatan akan realitas Allah itu mencengkeram hidup seseorang, sehingga dalam kesadarannya ia tahu bahwa ia hidup di dalam pemerintahan Allah, maka setiap kata yang dia ucapkan, setiap tindakan yang dia lakukan, pasti diperhitungkan dengan benar: apakah ini melukai hati Tuhan atau tidak?
Namun selama ini, irama hidup orang sudah salah; suka-sukanya sendiri. Seharusnya, setiap kata yang kita ucapkan harus dipertimbangkan. Juga reaksi kita terhadap setiap keadaan atau kejadian yang mana menunjukkan kita adalah anak-anak Allah atau anak dunia. Ingat! Pikiran kita bisa menjadi tempat di mana Iblis berakses untuk memenuhi dan melaksanakan kehendaknya guna menggenapi rencananya. Tetapi pikiran kita juga bisa menjadi pangkalan di mana Roh Kudus bekerja dan menggenapi rencana Allah dalam hidup kita, yaitu menjadi Corpus Delicti, sempurna seperti Yesus, dan menolong orang lain untuk menjadi Corpus Delicti sempurna seperti Yesus.