Kita adalah organisme yang hidup, entitas yang bernyawa. Bukan hanya jasmani kita yang bernyawa, tapi rohani kita pun bernyawa. Nyawa Anak Allah yang harus ditumbuhkan, sampai kita serupa dengan Yesus, memiliki kodrat ilahi. Sekarang tergantung kita, apakah kita benar-benar mau menumbuhkan manusia Allah di dalam diri kita, atau masih tetap di dalam kedagingan. “Matikanlah segala sesuatu yang duniawi,” demikian firman Tuhan. Sebab kekristenan tidak bisa menjadi sambilan, tambahan, atau suplemen. Tidak ada satu hari pun tanpa pertumbuhan. Waktu adalah anugerah dan berkat Tuhan selalu baru.
Sejujurnya, kita sering tidak menghargai Tuhan secara patut. Seperti orang tua senang melihat anak makin besar, sehat, makin cerdas, cakap, dan berprestasi. Allah pun demikian. Melihat kita bertumbuh makin hari makin serupa dengan Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus, itu menyukakan hati Bapa di surga. Tapi coba kita renungkan dengan sungguh-sungguh, apakah kita punya ambisi untuk mencapai kesucian setinggi-tingginya, keberkenanan di hadapan Allah setinggi-tingginya, kesempurnaan setinggi-tingginya, yang itu menjadi harta abadi kita? Masalahnya, kita masih membawa banyak beban dan dosa.
Kita menolerir kesenangan-kesenangan yang membelenggu hati dan dosa-dosa yang membelenggu pikiran dan daging. Padahal kehendak Bapa dalam Ibrani 12:2 adalah agar kita memiliki iman yang sempurna. Seperti Yesus yang membawa kita kepada iman yang sempurna, ketaatan yang benar, ketaatan tanpa syarat. Taat sampai mati di kayu salib. Kita akan mengalami pengujian-pengujian dalam hidup, kesempatan-kesempatan berbuat dosa, dan menikmati dunia. Dan pada waktu itulah kita teruji, apakah kita memiliki ketaatan tanpa syarat atau tidak. Jangan berkata, “Kali ini saja aku berbuat salah, kali ini saja aku mau menikmati kesenangan,” karena kita akan menjadi kecanduan dosa.
Tapi kita harus berkata, “Aku mau hidup suci.” Kalau jatuh, bangkit lagi, supaya kita menjadi kecanduan kesucian, sampai tidak bisa hidup tanpa kesucian. Sebagaimana Tuhan menyatakan prinsip hidup-Nya, “Makananku melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya,” (Yoh. 4:34) kita pun harus memiliki prinsip yang sama. Seluruh gerak hidup kita hanya untuk menyukakan Bapa. Itu dibahasakan oleh Paulus dengan kalimat: “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” Tuhan Yesus hidup hanya untuk Bapa di surga dan Tuhan Yesus berkata, “Aku memberi teladan bagimu.” Jadi, standar kita adalah Yesus. Kurang dari itu, palsu kekristenan kita. Tidak bisa direduksi, didevaluasi atau dimerosotkan.
Musuh yang tidak disadari oleh banyak orang Kristen hari ini adalah hidup dalam kewajaran; konformisme, menyesuaikan diri dengan dunia. Dan banyak orang kalah, namun dalam kenaifan, mereka merasa menang. Coba lihat, beberapa gereja yang menyerukan kemenangan seakan-akan sudah menang. Apa konsep menang yang mereka pahami? Mereka bahkan tidak tahu ukuran menang itu di mana. Mereka memandang Iblis itu begitu lemahnya, padahal Iblis sangat kuat dan licik. Sehingga tanpa disadari, banyak orang Kristen ada di dalam cengkeraman setan. Memang tidak kerasukan seperti orang orang yang kerasukan secara ekstrem—mendelik atau teriak-teriak–tetapi jiwanya dan dagingnya dikuasai setan. Dan orang tidak sadar bahwa dia ada dalam pemilikan kuasa kegelapan. Sehingga dia tidak mampu mencapai kesucian, lalu kompromi.
Kita harus bertumbuh di dalam iman, dalam persekutuan dengan Tuhan, sampai kita bisa membedakan suara roh dan suara daging. Tipis sekali batasnya, hampir tidak bisa dibedakan. Apalagi kalau orang tidak bertumbuh dewasa. Apa yang muncul di pikirannya, dianggap itu suaranya sendiri yang baik. Padahal itu adalah suara manusia lama yang harus dipadamkan atau dimatikan. Karena suara manusia lama diberi tempat, maka suara roh dieliminasi, dibuang. Dan kalau keadaan ini berlarut-larut berlangsung, maka orang tidak sanggup melihat standar atau grade yang harus dicapai. Yang mengerikan adalah ketika kita menghadap Tuhan dan kita tidak sanggup ada di hadapan Tuhan karena kesucian Tuhan begitu dahsyat. Kita tidak punya kesucian yang bisa mengimbangi kesucian Tuhan.
Bagi kita yang serius menghadap Tuhan, maka kita akan merasakan keadaan keberdosaan kita. Sebab Tuhan memberikan pencerahan terhadap dosa, kesalahan yang masih kita lakukan, lalu Tuhan mau membereskan kita. Kesucian kita harus meningkat terus. Sehingga waktu kita menutup mata, kita menghadap Tuhan, kita tahan berdiri di hadapan Tuhan. Namun, kesucian itu bukan mendadak bisa kita miliki. Api penyucian itu mulai sekarang, lewat doa, firman, pengalaman hidup yang biasanya menyakitkan, sehingga kita didetoksifikasi oleh Tuhan. Maka jangan kita membiarkan satu hari tanpa ada perubahan dari Tuhan.