Skip to content

Pertobatan Umat Perjanjian Lama

 

Roma 2:13

“Karena bukanlah orang yang mendengar hukum Taurat yang benar di hadapan Allah, tetapi orang yang melakukan hukum Tauratlah yang akan dibenarkan.”

Yang kedua, pertobatan bagi bangsa Israel di Perjanjian Lama setelah Taurat diberikan. Setelah Taurat diberikan, pertobatan berarti perubahan perilaku, dari melanggar hukum Taurat dan meninggalkan ibadah kepada Yahweh, kembali melakukan hukum Taurat dan beribadah kepada Yahweh. Dalam sejarah bangsa Israel, berulang kali bangsa itu terpengaruh oleh pola hidup masyarakat kafir di sekitar mereka, sehingga mereka menyembah ilah lain dan tidak hidup menurut Taurat yang Musa berikan. Allah menyerukan pertobatan melalui nabi-nabi-Nya agar bangsa itu bertobat. 

Yang ketiga, pertobatan bangsa-bangsa di luar Israel. Misalnya bangsa Asyria purba, yang beribukota di Niniwe. Pertobatan itu perubahan perilaku yang dipandang jahat atau tidak baik. Ketika orang-orang Niniwe mendapat seruan Nabi Yunus, ancaman bahwa kota itu akan dijungkirbalikkan oleh Tuhan, mereka bertobat. Memang kita tidak menemukan data lengkap standar pertobatan orang-orang ini. Tetapi kalau kita memeriksa Yunus 3:5, “Orang Niniwe percaya kepada Allah, lalu mereka mengumumkan puasa dan mereka, baik orang dewasa maupun anak-anak, mengenakan kain kabung.” Bahkan rajanya sendiri menanggalkan jubahnya, diselubungkan kain abu, lalu duduklah ia di abu. Ini seperti Ayub. Yunus 3:9-10, “Siapa tahu, mungkin Allah akan berbalik dan menyesal serta berpaling dari murka-Nya yang bernyala-nyala itu, sehingga kita tidak binasa.” Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Ia pun tidak jadi melakukannya.” 

Orang kafir, orang Asyria, sangat besar kemungkinan bangsa itu telah memiliki semacam hukum atau budaya atau ukuran moral yang mestinya mereka tegakkan. Dan ketika mereka melanggar hukum-hukum itu, mereka harus berbalik atau bertobat. Kalaupun tidak tertulis, ada budaya, ada ukuran moral. Dan kalau kita membaca Roma 2:12-15, memang Allah menulis hukum-Nya di hati orang-orang, semua bangsa. Pasti bangsa Asyria purba atau orang Niniwe mengerti bahwa perkawinan harus dihormati, menghargai milik orang, tidak berdusta, menghormati orang tua. Ketika orang-orang Niniwe melanggar hukum atau ukuran moral yang mereka pahami, mereka mendapat seruan untuk bertobat dari Allah melalui Nabi Yunus. Rupanya ada pertobatan bangsa di luar Israel yang bukan Kristen dan yang tidak mengenal Taurat. Ini berarti Allah memiliki perhitungan dengan mereka yang bukan umat pilihan. Kalau kita membaca Roma 2:12-16, mereka pun nanti akan dihakimi menurut hukum yang mereka pahami. Maka kita membaca dalam Kitab Wahyu, ada banyak kitab yang dibuka, dan orang dihakimi menurut yang tertulis di kitab-kitab itu. Jadi, ada kesadaran untuk berubah di kalangan orang-orang di luar bangsa Israel, di luar orang Krsten, di luar umat pilihan. 

Yang keempat, pertobatan yang diserukan oleh Yohanes Pembaptis. Ini adalah pertobatan untuk memiliki kesediaan melakukan yang diingini oleh Allah. Yaitu agar umat Israel memiliki kesediaan melakukan apa yang diingini oleh Allah. Dan Tuhan menghendaki umat Israel melakukan hukum bukan demi hukum itu, melainkan demi Allah yang memberikan hukum. Di sini yang mejadi pusat haruslah Allah, bukan hukum itu sendiri. Dan ini adalah sikap hidup yang dikenakan oleh Abraham. Abraham memiliki penurutan, ketaatan terhadap kehendak Allah. Pada waktu itu, Abraham hidup tidak punya hukum Taurat, tetapi Abraham bersedia melakukan apa pun yang Allah kehendaki. Seluruh hidupnya disita karena melakukan apa yang diingini oleh Allah; keluar Ur-Kasdim, tidak pernah kembali ke Ur-Kasdim, dst. Bahkan sampai harus menyembelih anak kandungnya, Abraham bersedia melakukan. Jadi, Allah yang menjadi pusat kehidupannya. 

Pada zaman Yohanes Pembaptis, ia menyerukan pertobatan kepada masyarakat Israel yang waktu itu memang sudah hidup dalam keberagamaan yang baik, tetapi keberagamaan yang formalitas legalistik. Allah tidak menjadi pusat, tetapi hukum itu sendiri yang menjadi pusat (legalistik), dan penilaian manusia (formalitas). Maka tidak heran kalau tokoh-tokoh agama pada zaman itu selalu mau menampilkan dirinya sebagai orang saleh; dengan aksesoris yang dia pakai, dengan tindakan berdoa di perempatan-perempatan jalan, dengan memberikan persembahkan yang sengaja dilihat. Pertanyaan untuk kita, apakah kekristenan yang kita miliki masih ada unsur itu? Melalui seruan Yohanes Pembaptis, bangsa Israel dinaikkan standar hidup keberagamaannya, supaya mereka mempersiapkan jalan bagi Tuhan. Ini penting sekali dalam ajaran keselamatan. 

Maka, hidup kita pun harus hanya selalu menuruti kehendak Bapa. Memang kita belum sempurna, tapi kalau Tuhan menghendaki kita hidup tidak bercacat, tidak bercela, jangan berkata, “Tidak mungkin. Abraham saja punya gundik padahal dia bapak orang percaya.” Jangan lupa, itu zaman Perjanjian Lama sebelum zaman anugerah, belum ada Injil yang menyelamatkan dan membebaskan, dan belum menerima Roh Kudus. Jadi jangan beralasan, “Abraham saja tidak sempurna.” Standar kita bukan Abraham, melainkan Tuhan Yesus.