Pada umumnya, filosofi hidup yang kita warisi dari orang tua adalah bagaimana kita studi, dapat gelar, berkarir, dapat uang banyak, bisnis, menikah punya pasangan hidup yang dianggap paling ideal, punya keturunan, sekolahkan anak-anak ke sekolah yang mahal atau terbaik, setelah besar, menikahkan anak kalau bisa di hotel paling mewah, mobil yang paling mewah dan undang tamu-tamu yang paling terhormat. Lalu, bisa punya tunjangan hari tua, dan lain sebagainya. Hal ini kita serap dari lingkungan yang kita lihat dalam kehidupan manusia pada umumnya. Kalau Tuhan memercayakan itu kepada kita, tidak salah dan tidak keliru. Tetapi kalau itu menjadi tujuan hidup kita, menjadi pelabuhan sukacita atau terminal kebahagiaan kita, maka suatu hari kita akan melihat bahwa semua itu ‘busuk’ atau ‘najis’.
Pembaharuan pikiran yang sungguh-sungguh berlangsung dalam hidup orang percaya akan membuatnya menjadikan keberhasilan umum sebagai alat untuk kepentingan Tuhan. Ingat, di sini dibutuhkan kecerdasan supaya kita tidak salah melangkah. Tidak salah kita sekolah, berkarir, punya uang banyak, punya mobil mewah, rumah mewah, menyekolahkan anak di sekolah terbaik, menikah dengan pesta paling mewah, mengundang pejabat tinggi, jika itu memang bagian berkat yang Tuhan berikan kepada kita. Namun, kalau itu menjadi kebanggaan, sukacita dan kebahagiaan hidup, maka kita pasti tidak akan bisa berdiri di hadapan Tuhan untuk mempertanggungjawabkan hidup kita.
Dalam 1 Korintus 15:32 dikatakan, “Kalau hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan manusia saja, aku telah berjuang melawan binatang buas di Efesus, apakah gunanya hal itu bagiku? Jika orang mati tidak dibangkitkan, maka marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati.” Kalau tidak dibangkitkan, kalau kelanjutan hidup ini tidak ada, kalau pertanggunganjawaban tidak diminta, maka mari kita makan minum, sebab besok kita mati. Sebenarnya setiap kita itu sudah punya bangunan yang namanya gaya hidup atau cara hidup. Dan bangunan gaya hidup atau lifestyle kita ini terbangun dari pertimbangan-pertimbangan atau pemikiran-pemikiran manusia. Ayat yang mengatakan, “Kalau hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan manusia saja..,” sedang menunjukkan ada yang harus diubah. Maka, Tuhan menebus kita supaya pertimbangan-pertimbangan manusia kita, diubah. Dan untuk mengubah pertimbangan yang kisi-kisinya begitu banyak tidak bisa dalam satu minggu, satu bulan, satu tahun. Namun harus melewati sebuah proses pembaharuan pikiran yang terus-menerus.
Siapa yang tahu bahwa seorang hamba Tuhan melayani Tuhan atau melayani gereja atau melayani diri sendiri? Siapa yang tahu dia hidup untuk kepentingan Tuhan atau untuk kepentingan dirinya sendiri? Hanya Tuhan dan dia. Mungkin di antara kita juga ada yang melayani pekerjaan Tuhan dengan tujuan bagaimana supaya usaha jemaat bagus, bagaimana anak-anaknya berhasil dan berprestasi, bagaimana kalau mereka sakit segera dapat sembuh, bagaimana mereka menjadi orang terhormat. Pada waktu itu, sebenarnya kita melayani manusia. Dan dibalik itu, kita pasti mendapatkan keuntungan. Tetapi sekarang kita tahu, kalau kita melayani adalah mengubah bangunan di dalam pikiran. Bangunan yang sebelumnya harus diruntuhkan dengan cara memberi pembaharuan-pembaharuan pikiran, supaya yang bisa menajiskan semua prestasi kita itu dirobohkan dan dibangun satu bangunan yang dikatakan Paulus dalam Filipi 1:21, “Bagiku hidup adalah Kristus.”
Di dalam Matius 16:23, di sana kita menemukan dua jenis pikiran: pikiran Allah dan pikiran manusia yang sama dengan pikiran Iblis, “Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus, ‘Enyahlah Iblis! Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Setiap kita punya masalah dalam hal ini. Tetapi kalau kita menanggalkan berhala pikiran-pikiran yang menyesatkan hidup kita dan belajar untuk mengerti pikiran Tuhan lewat kebenaran firman, percayalah, kita akan dimerdekakan.
Sebelum dunia dijadikan atau sebelum manusia jatuh dalam dosa, Tuhan sudah menyediakan keselamatan. Jadi jika kebutuhan yang begitu urgent atau sangat penting, Tuhan sediakan sebelum manusia menyadari kebutuhan itu, apalagi dengan pemenuhan kebutuhan jasmani. Matius 6:32 mengatakan, “Itu semua dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Tetapi Bapamu tahu bahwa kamu memerlukannya.”
Sebenarnya, anak Tuhan itu tidak perlu gagal. Tuhan sudah berikan keberhasilan dan kita pasti bisa meraihnya. Tentu keberhasilan ini jangan diukur dengan rumah mewah, mobil mewah atau deposito dollar. Bukan itu. Yang jelas, ciri orang yang berhasil yang disediakan oleh Tuhan untuk diraih, pertama, dia pasti tidak jadi beban orang lain. Kedua, dia pasti bisa membalas kebaikan orang tua. Ketiga, dia bisa memenuhi kebutuhan keluarga yang dibangunnya. Keempat, dia pasti bisa menolong keluarga dekatnya yang mungkin pernah tanam budi atau tidak pernah tanam budi namun memiliki hubungan baik dengan orang tua kita. Kelima, dia pasti bisa jadi berkat bagi masyarakat sekitarnya.