Kalau seseorang tidak meneladani Yesus, tidak mau serupa dengan Yesus, berarti ia adalah seorang pengkhianat. Kalau kita memilih Tuhan, berarti kita menjadikan Dia segalanya. Kalau tidak, itu berarti belum memilih Tuhan. Seperti agama samawi, agama Yahudi, sementara dipandu oleh hukum dan ibadah kepada Yahweh, mereka juga hidup sebagaimana manusia pada umumnya hidup, yang fokusnya pada pemenuhan kebutuhan jasmani.
Kekristenan yang dikenakan Paulus, menjadi model orang Kristen. Prinsip-prinsip hidupnya jelas. “Bagiku hidup adalah Kristus, mati keuntungan. Asal ada makanan, pakaian, cukup.” Ini persis seperti Anak Tunggal Bapa, ini baru namanya memilih. Sementara, kita masih mau hidup wajar. Bahkan profesi pendeta pun menjadi profesi yang pada umumnya masih ada rasa berhak untuk mendapatkan sesuatu. Padahal pendeta, aktivis, jemaat, sama saja, standarnya harus Yesus. Kalau pendeta, aktivis, harus lebih dulu menjadi teladan atau contoh. Memang belum sempurna, tetapi harus terus berubah. Tidak boleh meleset sedikit pun. Kalau orangtua mau anak-anaknya menjadi orang-orang yang selamat, maka orangtua harus memancarkan teladan yang kuat, agar anak-anak bisa terbawa.
Memilih Tuhan berarti menjadikan Dia segalanya. Mengenakan hidup-Nya dalam setiap langkah kita, karena memang Dia telah membeli kita. Kalau kita punya rumah dibeli orang lain, kita tidak berhak tinggal di situ, bukan? Kalau kita punya mobil dibeli orang, kita tidak berhak mengendarai lagi, bukan? Kalau Tuhan membeli hidup kita, artinya Tuhan yang mengendarai hidup kita, bukannya kita lagi. Tetapi kita masih mengendarai diri kita. Itu luar biasanya Tuhan, Dia menebus kita, tetapi memberi kebebasan.
“Kamu memilih Aku atau tidak? Sekarang kamu bebas. Kamu sudah Aku keluarkan dari penjara ini. Sekarang kamu memilih, mau masuk penjara-Ku atau mau kembali ke penjara lama? Sekarang rumahmu sudah Kubeli. Sekarang kau biarkan Aku masuk, kamu menjadi hamba, atau kamu masih menjadi majikan lalu kamu mau memperdaya Aku seperti hamba?” Banyak orang merasa sudah memilih Tuhan, padahal belum. Ke gereja, menjadi aktivis bahkan pendeta, itu belum tentu sudah memilih Tuhan.
Ketika seseorang memilih Tuhan, memberi dirinya ditebus, mulai mau menyerahkan hidupnya untuk Tuhan, tidak memberi bagian atau ruangan untuk dunia, itu belajar. Kalau kita punya mobil dibeli orang, kita serahkan mobil kita. Mudah sekali itu. Kita punya rumah dibeli orang, kita serahkan kunci rumahnya, kita keluar. Masalahnya, kalau kita dibeli oleh Tuhan, keluar dari tubuh ini tidak mudah. Masalahnya bukan keluar masuk seperti keluar masuk mobil. Tubuh ini masih dalam kekuasaan kita. Lalu, bagaimana kita menyerahkan ini pada kekuasaan Tuhan? Artinya, pikiran, perasaan kita harus diproses, dibentuk untuk memiliki penurutan terhadap kehendak Allah.
Sesatnya banyak orang adalah merasa akan sungguh-sungguh nanti. Banyak orang menunda kesungguhannya dalam memilih Tuhan, padahal sejatinya mereka masuk dalam pertaruhan besar. Karena mungkin ia tidak akan sempat dimiliki Tuhan. Bukan tidak mungkin suatu saat ketika kita berkata: “Aku memilih-Mu, Tuhan,” Tuhan berkata: “kamu sudah tidak bisa memilih Aku lagi. Bukan Aku tidak mau dipilih. Karena kamu sudah tidak mampu memilih Aku. Mulutmu memilih, dagingmu tidak memilih, jiwamu tidak memilih.”
Mestinya pertaruhan itu kita bayar jauh-jauh hari. Ini masalah hidup kekal kita. Terbuang dari hadirat Allah atau tetap bersama dengan Allah? Kalau kita berjuang untuk ini, kita baru bisa melayani Tuhan dengan baik. Makanya ketika kita memilih Tuhan, menjadikan Dia segalanya untuk mengenakan hidup-Nya, kita merajut dari detik ke detik. Kalau tidak, kita akan terlambat. Jadi, kita butuh pemulihan Tuhan. Bukan karena kita jatuh dalam dosa judi, perzinaan, obat terlarang. Mungkin tidak, tetapi tidak tepat seperti yang Allah kehendaki dan kita harus meratap.
Jangan lagi terseret dengan pilihan-pilihan yang tidak perlu, “makan Padang atau bubur ayam?” Tidak penting. Yang penting mana yang sehat? Mau jalan-jalan ke mana, yang penting apa yang Tuhan kehendaki. Jangan sibuk untuk hal yang sia-sia dan sepele. Kalau pilihan yang penting, jodoh misalnya, harus ditanyakan kepada Tuhan. Karena bisa menyangkut nasib kekal, maka perihal jodoh tidak boleh main-main. Jangan seperti Esau, yang ketika dia memiliki kesempatan memilih, dia tidak punya anugerah itu lagi. Dia tidak pernah menjadi anak sulung karena memilih apa yang sesaat menyenangkan hatinya. Semangkuk makanan telah membuat dia kehilangan apa yang termahal dalam hidup.
Jangan meratap hanya karena kita sakit, tidak bisa bayar utang, belum punya fasilitas rumah, mobil, belum punya anak. Kita mesti lupakan itu. Jangan hidup wajar seperti manusia lain yang proyeksinya pemenuhan kebutuhan jasmani. Kalaupun kita tidak menikah, kalaupun tidak punya rumah, kalaupun tidak punya apa-apa, tidak masalah, asal kita memiliki Tuhan.
Banyak orang menunda kesungguhannya dalam memilih Tuhan, padahal sejatinya mereka masuk dalam pertaruhan besar.