Ketika ada seorang datang kepada Tuhan Yesus dan berkata, “Guru yang baik, apa yang harus kulakukan supaya aku beroleh hidup yang kekal?” Kalimat “hidup yang kekal” itu artinya hidup yang berkualitas. Ini bukan hanya menyangkut hidup nanti setelah kubur, sebab Alkitab berkata, “Yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” Hidup yang kekal bukan hanya bicara mengenai panjangnya hidup, melainkan mengenai dalamnya hidup, kualitas hidup. Lalu Tuhan memberikan jawaban, “Lakukan hukum, dengan melakukan hukum hidupmu berkualitas.” Tetapi orang ini masih bertanya, merasa bahwa standar hidup yang telah dia miliki, yaitu melakukan hukum, telah dia capai: “Semua sudah kulakukan, Tuhan, kurang apa lagi?” Tuhan Yesus tidak membantah kemungkinan pria ini sudah memenuhi hukum. Seperti Paulus dalam Filipi 3:6-8 mengatakan bahwa ditinjau dari hukum Taurat, dia tidak bercacat, seperti orang ini. Tapi orang ini menyatakan dia tidak puas dengan apa yang dia sudah capai: “Kurang apa lagi?”
Tuhan Yesus menunjukkan satu cara hidup yang lebih tinggi dari cara hidup orang yang melakukan hukum, dari cara hidup orang beragama: “Ikut Aku.” Kalau ikut Tuhan Yesus, maka tidak dalam satu hari bisa mengikuti jejak-Nya, harus dari satu hari, satu bulan, satu tahun, dan seterusnya. Tetapi sebelum itu, Yesus berkata kepadanya dalam Matius 19:21, “Jual segala milikmu, bagikan kepada orang miskin, dan ikutlah Aku. Itu konsekuensinya kalau mau ikut Aku.” Ini sama dengan yang di Lukas 9 ketika orang berkata, “Tuhan, aku mau ikut Engkau ke mana pun Engkau pergi,” Yesus tidak menjawab boleh atau tidak, tapi Yesus berkata, “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang. Anak Manusia tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Kamu mau mengenakan cara hidup-Ku?”
Cara hidup yang benar-benar diubah memerlukan perjuangan yang serius, perlu belajar, sampai kita mengalami perubahan. Itu konsekuensinya, tetapi hampir semua orang Kristen tidak tahu, dan pendeta juga tidak memberi tahu dengan jelas. Kemungkinan besar, pendetanya sendiri juga belum membayar harga konsekuensinya atau tidak serius membayar konsekuensi tersebut. Firman Tuhan berkata, “Kamu telah dibeli dengan harga yang lunas dibayar, kamu dibeli dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu.” Maka kita sudah tidak boleh lagi memiliki banyak fokus yang melahirkan gairah dan menggerakkan kita hidup berdasarkan keinginan kita sendiri. Tuhan mengatakan, “Kumpulkan harta di surga, bukan di bumi; di mana ada hartamu, di situ hatimu berada.”
Di dalam Kolose 3:1-4, dikatakan bahwa kita harus fokuskan diri kita kepada perkara-perkara di atas, di mana Kristus duduk di sebelah kanan Allah, dan kita juga akan bersama-sama dengan Dia memerintah. Jangan kita anggap itu sesuatu yang tidak bernilai. Kalimat ini menjadi asing di telinga banyak orang Kristen karena nyaris tidak diberitakan, padahal kalau kita membaca Roma 8:17, proyeksi kita itu dimuliakan bersama dengan Tuhan Yesus dan memerintah dengan Dia. Susah sekali kita meyakini itu dan menaruh pengharapan kita untuk kemuliaan bersama Yesus, atau atas kemuliaan bersama dengan Yesus itu. Seakan-akan itu ada di dimensi yang tidak bisa kita tembus, tidak bisa tercerna di pikiran. Tapi ketika kita mulai serius melepaskan, menanggalkan segala kesenangan dan dosa, maka kita pasti mulai bisa masuk dimensi itu. Dan kita bisa mengerti apa yang dikatakan firman Tuhan di 1 Petrus 1:3, “Kita telah dilahirkan baru oleh kebangkitan Tuhan Yesus kepada suatu hidup yang penuh pengharapan.”
Ingat, musuh yang tidak disadari tapi sangat membahayakan adalah hidup dalam kewajaran seperti manusia lain, sehingga kita bangun tidur, gairah hidup kita itu bukan perkara-perkara di atas, karena kita belum memindahkan hati kita di Kerajaan Surga. Kalau pendeta ditipu oleh kuasa gelap dengan menggerakkan hatinya, bagaimana gereja menjadi besar, jemaat tambah banyak, lalu ada acara-acara yang keren. Kalau punya sekolah Alkitab, bagaimana sekolah Alkitabnya maju. Tidak keliru, memang harus memikirkan itu. Tapi, kalau itu menjadi tujuan akhir, maka kita sesat. Dan produk nanti yang dihasilkan pasti jelek karena tidak sampai di tujuan hidup. Jadi, tidak berlebihan kalau Paulus berkata, “Baik kamu makan atau minum atau melakukan sesuatu yang lain, lakukan semua untuk kemuliaan Allah. Kamu dan aku tidak punya bagian lagi dalam hidup ini karena semua ini milik Tuhan.” Dengan kalimat lain, “Aku tidak punya ruangan lagi, karena seluruh ruangan hidupku ini adalah milik-Mu.”