Skip to content

Perjuangan

 

Mengikut Tuhan Yesus adalah sebuah pilihan. Seseorang harus dengan sadar memilih untuk mengikut Tuhan Yesus. Ironisnya, banyak orang Kristen merasa sudah memilih Tuhan Yesus, padahal sebenarnya mereka belum pernah memilih. Ada yang menjadi Kristen karena orang tuanya, ada pula karena pasangan hidupnya. Sejatinya, orang-orang seperti ini belum pernah memilih Yesus secara pribadi, sebab imannya bukan iman yang lahir dari keputusan penyerahan diri, melainkan sekadar warisan. Iman yang sejati adalah penurutan terhadap kehendak Allah. Orang Kristen yang menjadi Kristen sejak lahir berpotensi besar hanya menjadi penganut agama Kristen tanpa memiliki pengalaman pribadi dengan Kristus. Ini bukan berarti semua orang Kristen sejak lahir pasti tidak berkualitas, tetapi potensi menjadi “Kristen KTP” sangat besar. Karena itu, kita patut bersyukur bila Tuhan berkenan membuka mata pengertian kita, sehingga kita dapat mengalami pertobatan yang sejati.

Mengikut Yesus berarti menjadi serupa dengan Dia, dan itu juga merupakan pilihan. Kita tidak otomatis menjadi serupa dengan Kristus. Serupa dengan Yesus bukan berarti sejajar atau setara dengan-Nya, tetapi memiliki pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus (Filipi 2:5–7). Inilah yang disebut kecerdasan rohani (spiritual quotient), yaitu kemampuan untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan perjuangan dari waktu ke waktu, dari saat ke saat, secara terus-menerus dan intensif.

Orang yang hanya merasa cukup menjadi Kristen dengan pergi ke gereja, pasti tidak memiliki perjuangan untuk menjadi serupa dengan Kristus. Karena itu, kita harus memilih untuk mengikut Yesus dengan sungguh-sungguh—yaitu dengan tujuan menjadi serupa dengan Dia. Gereja pun harus mengampanyekan kebenaran ini terus-menerus, mendorong dan menstimulasi jemaat agar mengagendakan hal ini sebagai satu-satunya isi hidupnya. Dalam Lukas 4:5–8 kita membaca kisah Yesus dicobai Iblis. Iblis menawarkan dunia dan segala kemuliaannya jika Yesus mau menyembahnya. Tetapi Yesus menjawab, “Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti.” Menyembah berarti memberi nilai tertinggi. Memberi nilai tertinggi kepada Allah diwujudkan dalam menghormati Dia melalui ketaatan melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya—hidup yang sungguh menyukakan hati Bapa.

Dalam hidup umat Perjanjian Baru, menyembah bukan seremonial sesaat, melainkan tindakan hidup dalam roh dan kebenaran. Ini pun adalah pilihan, bukan keadaan otomatis. Untuk dapat menyembah dalam roh dan kebenaran, kita harus berjuang, sebab di dalam diri kita masih ada kodrat dosa yang menuntut untuk dipuaskan. Karena itu, kita harus berani menyangkal diri, menyalibkan keinginan daging, bahkan mengkhianati diri sendiri—dalam arti tidak mengikuti keinginan pribadi—agar segala sesuatu yang kita lakukan senantiasa sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Inilah makna sejati dari perjuangan iman. Tuhan Yesus mengajarkan banyak kebenaran untuk mencerdaskan pikiran kita, membangun kecerdasan rohani agar kita mampu menilai dan memilih yang benar di hadapan Allah.

Karena itu, dalam pelayanan penggembalaan, pengajaran sangatlah penting. Seperti jemaat mula-mula dalam Kisah Para Rasul, mereka tekun dalam pengajaran para rasul. Mereka tidak hanya sibuk mengolah pengetahuan, tetapi juga mengalami perjumpaan pribadi dengan Allah melalui pengajaran itu. Apa yang diajarkan bukan sekadar teori, melainkan hasil dari pengalaman hidup bersama Tuhan. Janganlah kita memisahkan antara pengetahuan tentang Allah dan persekutuan dengan Allah. Keduanya tidak boleh berada di dua ruang yang berbeda. Pengertian yang benar akan menuntun seseorang untuk bergaul dengan Allah secara benar.

Jika dikatakan bahwa kita harus memiliki “ruangan” untuk bergaul dengan Allah, maka ruangan itu dibangun dari pengertian kebenaran. Dan lagi-lagi, ini adalah pilihan. Setiap hari kita dihadapkan pada banyak pilihan: apakah kita akan menonton film berjam-jam, larut dalam hiburan dunia, atau menyediakan waktu untuk mendengarkan firman Tuhan, belajar Alkitab, membaca buku rohani, dan bermeditasi di hadapan Tuhan? Tentu ada waktu untuk bersantai, dan itu tidak salah. Namun, kita harus belajar memilih hal-hal yang patut, yang membangun rohani, dan yang disetujui oleh Roh Kudus.

Dari dua puluh empat jam waktu yang Tuhan berikan setiap hari, kita harus mengalokasikan waktu secara khusus untuk urusan dengan Allah. Memang benar, kita hidup di hadirat Allah dalam segala hal, tetapi persekutuan pribadi dengan Tuhan—mendengarkan firman-Nya dan berbicara dengan-Nya dalam doa—tidak boleh diabaikan. Inilah perjuangan rohani setiap orang percaya: memilih untuk hidup di hadapan Allah setiap hari, bukan karena terpaksa, tetapi karena cinta kepada-Nya.