Skip to content

Perjalanan Waktu

 

Siap atau tidak siap, setuju atau tidak setuju, pada akhirnya semua orang akan mengalaminya: suatu hari kita akan menyadari bahwa waktu hidup kita tinggal beberapa saat. Di saat itulah baru kita dapat menghayati kedahsyatan perjalanan waktu. Banyak orang tidak menyadari betapa dahsyatnya perjalanan waktu karena merasa masih memiliki banyak kesempatan. Hari ini ia memperoleh pagi, besok kembali memperoleh pagi, dan seterusnya. Sama seperti orang yang selalu memiliki banyak uang, ia tidak mengerti betapa sulitnya keadaan ketika tidak punya apa-apa. Baru ketika ia membuka dompet dan hanya menemukan beberapa keping receh yang bahkan tidak cukup untuk membeli sebungkus nasi, barulah ia sadar.

Demikian pula seseorang yang bertindak ceroboh. Ia merasa semuanya baik-baik saja, tetapi ketika polisi mulai melakukan penyelidikan dan ia ditengarai melakukan pelanggaran, bahkan sampai dijebloskan ke penjara, barulah ia mengerti arti jeruji besi. Apalagi bila ancaman hukumannya lebih dari 10 tahun. Hidupnya seolah-olah runtuh. Ia yang sebelumnya berharap tidak akan tertangkap, kini menghadapi kenyataan sebagai penjual narkoba dengan jumlah besar, bahkan dihukum mati.

Sejatinya, hukuman mati itu sendiri belum seberapa mengerikan. Yang lebih dahsyat adalah ketika seseorang berada di ambang kematian dan menyadari bahwa ia akan memasuki lorong gelap bernama kekekalan. Itulah yang menimbulkan kegentaran sejati. Terlebih lagi bila ia mengalami kematian kedua—yaitu terpisah dari hadirat Allah untuk selama-lamanya—yang Alkitab gambarkan sebagai ratapan dan kertakan gigi.

Ironisnya, banyak gereja tidak mengingatkan hal ini dengan jelas, padahal gerejalah yang seharusnya bersuara lantang. Dunia hanya menawarkan “mimpi indah” yang menutup mata manusia dari kenyataan perjalanan waktu. Lebih mengerikan lagi, kita tidak tahu kapan akhir hidup kita. Bisa jadi renungan ini adalah yang terakhir kita baca. Hari ini kita diingatkan: kita sedang berada di dalam perjalanan waktu. Betapa mengerikannya jika kita tidak bertobat sungguh-sungguh, sementara kita sebenarnya tidak siap menghadap Tuhan. Sejujurnya, banyak jemaat yang tidak siap mati, meski mereka tidak menyadarinya.

Pertanyaannya: bagaimana dengan kita? Apakah kita sadar akan perjalanan waktu? Apakah kita sudah siap bila Tuhan menjemput kita pulang? Apakah kita tahu ke mana kita pulang?

Salah satu ciri orang yang sungguh-sungguh masuk surga adalah tidak takut mati, bahkan merindukan perjumpaan dengan Tuhan. Jadi, jika seseorang tidak merindukan bertemu Tuhan, pasti ada yang salah dalam hidupnya. Karena itu, kita harus serius ikut Tuhan. Serius. Caranya sederhana: mau jujur melihat kesalahan, mau minta ampun, dan berjalan dalam hidup yang baru, meninggalkan dosa. Roh Kudus pasti menolong. Hidup ini tragis. Bisa saja hari ini kita bersama pasangan, tetapi esok salah satu sudah tidak ada. Jika gereja tidak mengingatkan jemaat akan hal ini, maka gereja itu jahat. Sebab pada akhirnya kita semua akan menutup usia: akhir dari bisnis, akhir rumah tangga, akhir keluarga. Pertanyaannya, apakah kita siap?

Jangan sampai suami masuk surga, istri tidak. Jangan sampai orang tua masuk surga, anak-anak tidak. Gereja harus mempersiapkan rumah tangga untuk menjadi keluarga kekal, bukan sekadar menyelenggarakan kebaktian yang membuat orang diberkati dalam keuangan atau bisnis. Sebab bisnis sehebat apa pun tidak ada artinya ketika kita berada di ujung waktu. Gereja dipanggil untuk mempersiapkan jemaat bagi kekekalan. Hidup ini tragis. Karena itu, persiapkanlah dirimu untuk kekekalan.