Skip to content

Perjalanan Liturgi

Setelah melalui perjalanan panjang kehidupan Kristen, akhirnya kita dapat mengerti—walaupun sulit menjelaskan—bahwa kekristenan bukan sekadar agama. Pada umumnya, agama memiliki penekanan terhadap 3 hal, yaitu: Pertama, seremoni atau liturgi. Dalam kekristenan, ritual seremonial atau liturgi yang sejati adalah perjalanan hidup kita setiap hari. Tidak lagi dikemas dalam acara pertemuan seperti yang biasa kita lakukan. Itu bukan sesuatu yang salah, tetapi jangan merasa bahwa kita sudah mengadakan ibadah kepada Tuhan dengan mengikuti sebuah liturgi keagamaan. Jangan berpikir naif begitu. Itu hanya pertemuan bersama; bagian kecil dari ibadah kita yang luas. Liturgi kita adalah seluruh kehidupan. Kekristenan itu benar-benar menyita hidup kita tanpa sisa. Kekristenan itu bukan bagian hidup kita, tetapi seluruh hidup kita. Tidak banyak orang yang rela memasuki hidup kekristenan yang benar ini. Sebagaimana ditulis dalam 1 Korintus 10:31, “Baik kamu makan atau minum atau melakukan sesuatu yang lain, lakukan semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” 

Kalau kita datang di suatu acara kebaktian atau upacara agama mana pun, kita dimasukkan ke dalam suasana; suasana keberagamaan. Setelah selesai, kita keluar dari suasana itu. Liturgi kita dimulai dari bangun tidur sampai kita tidur dan bangun lagi, itu kalau kita mau menjadi orang-orang yang dirahmati, diberkati Tuhan, dan memiliki kehidupan yang akan berlanjut di kekekalan. Itulah sebenarnya dimaksud oleh Tuhan Yesus: “Datanglah Kerajaan-Mu;” artinya kita selalu ada di dalam pemerintahan Allah. 

Kalau agama-agama suku yang memiliki dewa-dewi dan berbagai ritual, ketika mereka keluar dari suasana atau acara ritual, mereka tidak lagi hidup dalam cengkeraman dewa atau ilahnya. Namun, di dalam kekristenan, cengkeraman Allah itu tidak pernah putus. Tidak ada daerah atau wilayah di mana kita tidak menyembah, tidak berbakti. Tidak pernah ada. Menyembah artinya memberi nilai tinggi; proskuneo. Jadi, di mana pun kita berada, kita dalam suasana menyembah. Maka, kita pasti hati-hati dengan apa yang kita ucapkan, tidak sembarangan. Namun, tidak banyak jumlah orang yang berani masuk di sini. 

Inilah arti menyembah Allah dalam roh dan kebenaran. Tidak di atas gunung Gerizim, tidak pula di kota Yerusalem. Kekristenan itu bukan agama, melainkan jalan hidup; Christianity is not just religion, but the way of life. Bagaimana mengerti hal ini? Ternyata lewat perjalanan waktu dan mengalaminya  tidak mudah. Kalau kita konsekuen melakukan hal ini, maka kita tidak akan berbuat dosa. Benar-benar kita gentar, takut akan Allah. Kalau kita melatih diri untuk memiliki kehidupan seperti ini, kualitas hidup kita akan meningkat terus. Seperti rajawali, terbang tinggi. Jika tidak, kita akan makin merosot dan tidak akan pernah memiliki kehidupan seperti ini. 

Ingat, kita harus berani. Masing-masing kita punya nafsu, ambisi, emosi, selera, tetapi mari kita memilih untuk memiliki kehidupan seperti ini. Dimulai dari ucapan, jangan banyak bicara. Joke-joke yang tidak perlu, jangan diucapkan, sebab kita senang apa yang diucapkan membuat orang tertawa, padahal kita memuaskan diri dengan hal itu. Mulut kita harus menjadi mulut Tuhan. Tidak salah kalau sekali-kali kita bicara lalu membuat ceria orang, tetapi jangan memuaskan diri dengan joke-joke seperti itu. 

Kedua, agama memiliki hukum. Ada hukum, juga tentu ada sanksi-sanksi jika tidak melakukan hukum atau peraturan-peraturan tersebut. Ini mutlak, agama apa pun pada umumnya demikian. Namun, kekristenan tidak punya hukum. Maksudnya, tidak ada hukum yang tertulis. Kita menyerap pikiran dan perasaan Allah, lalu mengekspresikannya dalam hidup. Tidak mungkin ada kebencian, dendam, sakit hati, atau tidak menangisi jiwa-jiwa. Kalau tubuh kita adalah bait Roh Kudus, maka pasti ada Ruang Maha Suci. Kita dikontrol, dimonitor dan digerakkan oleh Ruang Maha Suci. 1 Korintus 6:19-20; 1 Korintus 3:16, “Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalamku.” Mudah sekali diucapkan jika tanpa mengerti konsekuensi serius dengan ayat tersebut.

Jangan main-main dengan ayat ini. Kalau Tuhan telah menebus kita, maka kita bukan milik kita  sendiri. Ada konsekuensinya, yaitu kita tidak berhak menggerakkan pikiran, perasaan, tubuh sesuai dengan keinginan sendiri, karena banyak keinginan kita yang sudah dicemari oleh keinginan dunia. Alkitab itu kebenaran, Roh Kudus yang tertulis yang berisi pikiran dan perasaan Allah. Idealnya, bukan tafsiran-tafsiran yang sering kali dicemari oleh pikiran dunia dan memuaskan nafsu akademis. Roh Kudus pasti memimpin sehingga orang mengerti kebenaran. Jika kita mendengarkan khotbah setiap hari, kalau khotbah itu benar, pasti mengubah. 

Roh Kudus itu lembut, Dia tidak memaksa. Kita harus rendah hati, menerima dan membiarkan Roh Kudus menguasai kita agar mengekspresikan perasaan Allah di dalam dan melalui hidup kita. Ini anugerah, Tuhan tidak memaksa kita. Roh Kudus dengan lembut bicara dan kita harus dengan rela menerimanya. Dengan rela, kita melakukan apa yang Bapa ingini. Berkaitan dengan yang ketiga, tidak perlu ada imam yang mewakili kita bertemu Allah, karena kita berjalan dengan Tuhan. 

Dalam kekristenan, ritual seremonial atau liturgi yang sejati

adalah perjalanan hidup kita setiap hari.