Kita harus memiliki paradigma cara berpikir anak-anak Allah. Di 1 Petrus 1 dikatakan bahwa Ia telah melahirkan kita oleh kebangkitan Yesus. Mengapa? Karena dengan kebangkitan-Nya, kita memiliki pengharapan kebangkitan untuk menerima suatu bagian yang tak dapat binasa, tak dapat layu yang tersimpan di surga. Kalau kita tidak percaya itu, sejatinya, percuma jadi Kristen. Apa lebihnya Kristen? Tanpa dimensi ini, kekristenan tidak punya kelebihan apa-apa. Tapi demi dimensi ini, Paulus melepaskan semuanya dan menganggapnya sampah. Maka di Petrus 1:13 dikatakan, “… letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu penyataan Yesus Kristus.” Jadi, kebahagiaan kita itu hanya ketika meletakkan pengharapan kita sepenuhnya pada penyataan kedatangan Yesus.
Betapa bahagianya kalau Yesus datang membawa kita ke kehidupan yang tidak ada kematian, tidak ada bencana, tidak ada sakit penyakit, tidak ada perang, tidak ada krisis, tidak ada kecelakaan, tidak ada invalid, tidak ada ketidaksempurnaan. Dan kenyataannya memang dimensi hidup Kristen itu lebih luas, dan luar biasa sebab tidak dimiliki oleh manusia pada umumnya. Maka seharusnya kita memikirkan bahwa ada ujung perjalanan hidup ini. Ini tidak membuat kita menjadi pesimis hidup. Maka bersyukur kalau kita dibawa Tuhan dalam kondisi disudutkan, dipojokkan, dihajar Tuhan sampai kita mendapat anugerah bisa menghayati hal ini. Kalau tidak, kita bisa terjebak dalam kenikmatan hidup. Kita harus optimis, tapi optimis kita di balik kubur. Sebab sebelum kubur, tidak ada yang bisa kita harapkan. Dunia ini tidak menjanjikan. Ada salah satu negara di Eropa Timur yang dulu merupakan negara teraman di dunia, tapi sekarang malah termasuk negara yang paling tidak aman.
Dengan dimensi hidup kekekalan, maka pasti perilaku kita berubah. Dengan memiliki dimensi hidup kekekalan, mestinya gaya hidup kita menjadi berbeda dengan orang yang tidak berdimensi hidup kekekalan. Mesti berubah, makin hari mesti makin mencolok perubahan itu, makin beda. Maka, Tuhan Yesus berkata di Injil Matius 5:14-16, “Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga.”
Jadi, dengan melihat gaya hidup kita, mereka menemukan surga. Karena mereka melihat pengharapan hidup kita di balik kubur, di mana kita memiliki gaya hidup orang yang akan dibangkitkan, gaya hidup berkemas-kemas itu akan kelihatan. Bisa dilewati tanpa target, yang penting hidup bisa dijalani, hidup kudus, menyenangkan hati Tuhan, bagaimana menyelamatkan jiwa-jiwa. Lalu kalimat berikutnya, “Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus. Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini.”
Ini bukan takut bencana, dihina orang, dikucilkan sesama, melainkan takut akan Allah terkait dengan ayat sebelumnya, “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” Standarnya adalah kesucian; yaitu tindakan yang selalu tepat seperti yang Allah kehendaki. Jadi, setiap hari kita bangun tidur, kita sudah diperhadapkan kepada keputusan dan pilihan. Apakah kita bertindak tepat atau tidak? Karena Tuhan mau kita punya tindakan harus presisi. Dan kalau kita mau presisi, maka kita harus mengerti pikiran dan perasaan-Nya. Dan Alkitab berkata, kita bisa satu roh agar kita bisa mengerti apa yang Allah kehendaki untuk kita lakukan; 1 Korintus 6:17, “Barangsiapa mengikatkan diri dengan Allah, menjadi satu roh.”
Tuhan pasti membuka pintu, karena memang Tuhan mau kita mengerti kehendak Allah dan melakukannya. Jangan sombong, jangan mengeraskan hati. Mungkin ini adalah peringatan terakhir bagi kita.