Rasanya kita sudah sering mendengar kata “bertekun.” Ternyata, dibutuhkan ketekunan yang sungguh-sungguh terkait dengan cara Tuhan bersikap terhadap kita, dalam dinamika hubungan timbal balik, atau hubungan interaksi kita dengan Allah. Ini penting sekali. Pengertian ini harus kita miliki dan membekali hidup kita sejak hari ini. Allah yang kita sembah, Allah Abraham, Ishak, dan Yakub, Allah Israel yang bernama YAHWEH, Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus sering bersikap seakan-akan Ia tidak menghargai kesetiaan kita kepada-Nya, tidak menghargai pengorbanan kita kepada-Nya, tidak menghargai kesungguhan kita di dalam mencari Tuhan. Artinya, kita melihat, menyaksikan, dan mengalami seakan-akan Tuhan memperlakukan sama antara kita dengan mereka yang tidak mencari-Nya.
Sehingga, kalau jujur, ada pertanyaan atau pernyataan di dalam hati kita: “Apa bedanya aku—yang sudah sungguh-sungguh mencari Tuhan, mau hidup suci, bahkan sudah hidup suci, namun diperlakukan Tuhan sama dengan mereka yang tidak sungguh-sungguh mencari Tuhan?” Lalu, kita juga melihat orang-orang yang ke gereja setiap Minggu, aktivis bahkan mungkin juga pendeta di mana kita tidak menemukan keelokan atau keindahan hidup mereka. Sebaliknya, kita melihat orang-orang di luar gereja lebih elok hidupnya, lebih mempesona. Sejatinya, inilah yang membuat kita mulai kurang bertekun. Kalau kita punya kemampuan 100%, kita tidak gunakan penuh 100% untuk sungguh-sungguh berurusan dengan Tuhan. Kita hanya menggunakan 40, 50, 60% saja. Sebab kita merasa tidak diperlakukan istimewa, seakan-akan sama saja dengan orang yang tidak sungguh-sungguh mencari Tuhan. Sejatinya, tanpa kita sadari, kita sudah meragukan Tuhan.
Inilah yang menjadi karakteristik atau sifat Tuhan; Tuhan itu Maha Murah, tapi tidak murahan. Hanya orang yang berani menaruh percaya tanpa jaminan atau syarat kepada Dia adalah orang yang suatu saat pasti mengalami Tuhan, dan mengalami perbedaan antara orang yang mencari Tuhan dan yang tidak mencari Tuhan. Maka, jangan menjadi lemah melihat fenomena hidup seperti, karena Tuhan menguji kesetiaan kita. Sebab Allah layak kita percayai. Allah pantas kita percayai, walaupun tidak ada tanda-tanda. Dia bisa dipercayai, walaupun tidak ada jaminan, tetapi Dia layak dipercayai. Ingat pernyataan Tuhan Yesus, “Berbahagialah orang yang percaya walau tidak melihat.”
Menengok kisah hidup Abraham, Bapak orang percaya, sangat menggores di hati kita. Ia adalah seorang pria yang hebat. Dia percaya kepada Allah, Elohim YAHWEH, tanpa jaminan atau syarat. Dia percaya saja kepada Pribadi-Nya, ketika disuruh keluar dari Ur-Kasdim ke negeri yang TUHAN akan tunjukkan. Entah berapa banyak orang yang sudah mencegah Abraham untuk tidak keluar dari negerinya. Sebab di luar lembah Sumeria yang subur, makmur, dan maju pada waktu itu, tidak ada negeri lain kecuali Mesir. Tetapi Abraham lebih mendengarkan suara Elohim YAHWEH, Allah semesta alam. Sekalipun dia tidak tahu negeri itu di mana.
Abraham keluar dari Ur-Kasdim dan tidak pernah punya niat kembali ke negerinya, walaupun menghadapi masa paceklik, masa kekeringan. Dia lebih memilih ke Mesir, di mana nyaris istrinya diambil oleh Firaun. Dia tidak pernah kembali. Dan bukan tidak mungkin, semakin tua dia semakin tidak melihat kemungkinan menemukan negeri itu, tapi Abraham tetap percaya (Ibr. 11). Belum lagi dia harus menunggu anak yang dijanjikan selama 25 tahun. Ketekunan yang luar biasa. Dan puncaknya ketika dia harus mengorbankan anaknya Ishak, dia lakukan tanpa ragu-ragu.
Tuhan Yesus mengatakan di Lukas 18:1 mengenai hakim yang tidak takut Tuhan dan tidak peduli siapa pun. Tapi dia “menyerah” dengan seorang janda yang minta supaya haknya dibenarkan, perkaranya dimenangkan. Janda ini benar-benar nekat. Dalam Lukas 18 sampai hakim ini berpikir: “Dia menyusahkan aku, jangan-jangan nanti dia menyerang aku.” Hal ini menjadi satu gambaran agar kita punya ketekunan seperti janda itu. Sehingga Tuhan Yesus bertanya di Lukas 18:8, “Jika Anak Manusia datang, apakah Dia mendapati iman di bumi?” Lalu Tuhan memberikan nasihat agar kita bertekun dalam doa. Maksudnya bertekun dalam doa bukan berlutut, lipat tangan, dan di ruang doa saja, melainkan persekutuan yang terus dijaga. Doa adalah dialog, percakapan terus-menerus dengan Allah.
Sudah susah menemukan orang yang menjaga hidupnya tetap di hadirat Tuhan, tapi Tuhan mengajar kita untuk itu, dan kita mau mengambil keputusan untuk selalu ada di hadirat Tuhan. Kalau kita serius dengan Tuhan, maka kita tidak mungkin sama dengan orang yang tidak serius, sebab pasti Tuhan memperlakukan kita berbeda. Kalau sekarang kelihatan tidak ada bedanya, berarti belum waktunya.