Sejatinya, masih banyak pekerjaan Tuhan yang harus kita selesaikan. Masalahnya, kalau suatu hari nanti kita bertemu Tuhan, apakah kita benar-benar telah menyelesaikan tugas yang dibebankan, yang dipercayakan kepada kita? Sejujurnya, ada kegentaran, ada perasaan takut. Itulah sebabnya kita harus selalu bertanya, “Apa yang Kau kehendaki untuk kulakukan, Tuhan? Apa pekerjaan-Mu, rencana-Mu dalam hidupku yang harus kutunaikan?” Sebab, kalau kita percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, maka tidak bisa tidak, kita juga dipercayai Tuhan untuk melakukan pekerjaan-Nya. Jadi, percaya kita kepada Tuhan itu ada timbal baliknya.
Kita mempercayai Dia sebagai Tuhan dan Juru Selamat, yang karena-Nya kita menundukkan diri dan memberi diri untuk diproses, dikembalikan ke rancangan Allah semula. Dan setelah itu, kita harus melakukan pekerjaan-Nya. Jadi, kita tidak bisa mengatakan percaya kepada Tuhan tanpa dipercayai Tuhan, tidak mungkin. Percaya kita seperti sekeping mata uang dengan 2 muka, 2 wajah. Wajah yang pertama, percaya kepada Tuhan dari arah kita kepada-Nya, tetapi di sisi lain, ada arah dari Tuhan kepada kita.
Yesus Tuhan kita berkata, “Seperti Bapa mengutus Aku, sekarang Aku mengutus kamu.” Ini berlaku bagi semua orang Kristen. Ini bukan hanya berlaku bagi mereka yang menjadi aktivis gereja, majelis gereja, pendeta, atau mereka yang duduk di bangku Sekolah Alkitab lalu menjadi penginjil. Ini berlaku untuk semua orang yang mengaku percaya kepada Yesus; bukan hanya untuk mereka yang belajar teologi secara khusus. Itulah sebabnya kita patut memperkarakan apa yang Allah kehendaki dalam hidup kita, untuk kita penuhi? Apa rencana Allah, pekerjaan Allah yang dipercayakan kepada kita, untuk kita tunaikan atau kita selesaikan?
Seperti yang dikatakan di dalam Yohanes 4:34, ucapan Tuhan Yesus, “Makanan-Ku melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” Selagi hari siang, mari kita melakukan kehendak Tuhan. Dunia bisa berubah di luar prediksi manusia. Kita tidak mengharapkan perang Israel-Hamas hari ini akan berkepanjangan. Kita juga tidak mengharapkan perang Ukraina dan Rusia akan berkepanjangan. Kita tidak ingin ketegangan di Laut Selatan (ketegangan Taiwan dan Cina, Korea Utara, Korea Selatan) berkepanjangan, kita tidak mengharapkan. Tetapi banyak hal yang bisa terjadi di luar pemikiran dan prediksi kita.
Kalau kita yang sudah begitu serius bekerja untuk Tuhan—menurut penilaian kita sendiri, sudah serius—ini pun masih ada ketakutan, ada kegentaran. Maka kita tetap harus belajar untuk lebih serius. Kita persembahkan hidup, berusaha tidak punya keinginan-keinginan dunia lagi seperti dulu, berusaha untuk hidup kudus. Dan setiap kita menghadap, kita perkarakan: “Apakah masih ada pekerjaan Tuhan yang belum kutunaikan atau belum kuselesaikan?” Bayangkan, bagaimana dengan mereka yang tidak peduli dengan jiwa-jiwa yang terhilang? Mereka hanya peduli dengan diri sendiri, keluarga sendiri, cita-cita, keinginan sendiri yang tidak diarahkan untuk kesukaan hati Allah.
Betapa mengerikan kalau suatu hari seseorang yang tidak peduli pekerjaan Tuhan, seseorang yang tidak peduli jiwa-jiwa yang terhilang, menghadap Tuhan. Apakah dia bisa berkata seperti Kain berkata, “Apakah aku penjaga bagi adikku? Apakah aku penjaga bagi saudaraku?” Sejatinya iya, kita harus menjaga saudara kita yang lain. Ada banyak orang yang benar-benar lemah, miskin, tidak berpendidikan, rusak moralnya, dan masa depannya pun gelap. Kalau Tuhan mau menyelamatkan mereka, siapa yang menjadi sarana atau alat di dalam tangan Tuhan untuk menjangkau mereka?
Ya, tentu saja kita, bukan? Tuhan mau memakai kita untuk menyatakan kasih-Nya, menyatakan hadir-Nya di dalam hidup orang lain melalui hidup kita. Karenanya, kita minta kepada Tuhan untuk memiliki hati seperti hati-Nya, terbeban terhadap jiwa-jiwa yang terhilang, memandang jiwa-jiwa yang terhilang seperti Tuhan memandang. Mintalah kepada Tuhan hati yang berbelaskasihan seperti hati-Nya. Kalau kita memiliki hati yang berbelaskasihan seperti hati Tuhan, maka kita akan melayani dengan kasih, melayani jiwa-jiwa dengan tulus. Kita tidak mencari uang, nafkah dalam pelayanan, tapi kita memberikan hidup kita.
Tidak salah seorang hamba Tuhan hidup dari pelayanan, tidak salah hamba Tuhan mendapatkan nafkah dari pelayanan, tapi bukan karena nafkah itu kita melayani. Kiranya Tuhan membukakan pikiran kita untuk memiliki hati yang mengasihi jiwa-jiwa seperti hati Tuhan Yesus sendiri. Dengan demikian, kita menghormati Bapa di surga, yaitu ketika kita bisa memuaskan hati-Nya dengan kita mengasihi jiwa-jiwa seperti Bapa, seperti hati Tuhan Yesus Kristus mengasihi mereka.