Kita harus memahami bahwa kitab Wahyu ditulis dalam gaya simbolik dan figuratif, bukan secara harfiah. Dalam Wahyu 20:7 tertulis: “Dan setelah masa seribu tahun itu berakhir, Iblis akan dilepaskan dari penjaranya.” Ayat ini menggambarkan bahwa kejahatan akan muncul secara nyata dan ekstrem di akhir zaman — jenis kejahatan yang belum pernah dilakukan manusia sebelumnya. Ini dilukiskan melalui simbol “Iblis dilepaskan dari penjaranya”.
Dalam ayat 8 dikatakan bahwa Iblis akan “menyesatkan bangsa-bangsa di keempat penjuru bumi dan mengumpulkan mereka untuk berperang.” Perlu diingat, angka, nama, dan peristiwa dalam kitab Wahyu mengandung makna simbolik yang harus ditafsirkan secara kiasan, bukan literal. Yang paling penting adalah memahami maknanya secara rohani dan mengaitkannya dengan kehidupan kita saat ini: apa yang harus kita lakukan, bagaimana kita bersikap, dan dalam posisi apa kita berdiri di tengah zaman yang gelap ini.
Ayat 9 melanjutkan: “Maka naiklah mereka ke seluruh dataran bumi, lalu mengepung perkemahan tentara orang-orang kudus dan kota yang dikasihi itu.” Siapa yang dimaksud sebagai “orang-orang kudus” dan “kota yang dikasihi”? Itu adalah kita — orang percaya yang berjuang untuk hidup dalam kekudusan. Tentu saja, pengepungan ini bukan dalam pengertian fisik seperti pasukan bersenjata, tetapi merupakan serangan rohani yang dilakukan oleh kuasa kegelapan.
Di akhir zaman, Tuhan masih menyisakan sekelompok orang yang hidup dalam kekudusan sejati — mereka yang disebut “tentara orang kudus.” Mereka bukan pejuang bersenjata secara jasmani, melainkan prajurit rohani yang hidup untuk menyelamatkan jiwa-jiwa dan menegakkan kebenaran. Mereka menjalani proses pemurnian, sebagaimana tertulis: “Yang fasik tetap berlaku fasik, dan yang kudus menjadi semakin kudus” (Wahyu 22:11). Pada titik ini, tidak ada zona netral — seseorang berada di kutub dosa atau di kutub kesucian.
Jika kita termasuk dalam barisan “tentara orang kudus”, kita pasti mengalami tekanan dari berbagai sisi. Ini bukan hanya berupa serangan verbal, fitnah, atau perlakuan tidak adil, tetapi juga atmosfer dunia yang mencekam dan membelenggu jiwa. Ada tekanan dari kekuatan tak terlihat, bayang-bayang gelap yang merongrong batin kita. Ini membuat banyak orang kehilangan semangat dan berkata, “Tidak mungkin hidup kudus.”
Namun, Iblis memahami waktu dan mengenali tanda-tanda zaman. Ia mengatur strategi: mengepung orang percaya secara perlahan, lewat budaya, bahasa, candaan, media, dan berbagai ekspresi dunia modern yang tampaknya wajar, namun menyusupkan nilai-nilai yang mencemari kekudusan. Banyak orang Kristen tanpa sadar mulai hidup dalam standar kewajaran duniawi — dan inilah sasaran empuk dari kuasa kegelapan.
Jika kita menjaga jarak dari pengaruh dunia dan hidup dalam kesadaran akan hadirat Allah, kuasa kegelapan akan kesulitan menjangkau kita. Namun, kita akan tetap dikepung dan terus berperang — bukan secara fisik, tetapi dalam peperangan rohani yang berlangsung 24 jam sehari. Tidak ada waktu jeda. Iblis selalu membidik, bahkan saat kita sedang berdoa. Ia menunggangi manusia lama kita, mengacaukan pikiran dan mengaburkan visi rohani.
Menjadi bagian dari umat kudus Tuhan di akhir zaman ini adalah perjuangan yang sangat berat. Namun inilah panggilan ilahi. Hanya mereka yang menghayati kehadiran Allah setiap saat, yang hidup dalam doa dan ketekunan, yang akan sanggup bertahan dan menang dalam peperangan rohani ini.