Skip to content

Penyimpangan

 

Kalau kita tidak berani menanggalkan beban dan dosa, berarti kita tidak bisa masuk perlombaan yang wajib. Perlombaan yang wajib itu sempurna seperti Yesus (Ibr. 12), dan menjadi υός (huios) anak yang sah, bukan νθος (nothos) anak gampang/haram. Pertanyaannya, siapa orang yang mau ikut? Karena harus berjuang berat. Kalau kita tidak benar-benar nekat, tidak akan bisa. Sebab, semua ada harganya. Oleh sebab itu kita harus selalu mengoreksi diri; “Kesalahan apa yang masih ada padaku? Nanti kalau aku menghadap Tuhan, apakah masih kugenggam keinginan-keinginan dunia atau dosa?” Ketika Yesus berkata, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya,” Tuhan mau kita berbasis pada kehidupan di dunia akan datang. 

Sebelum Yesus mengucapkan kalimat itu, Ia dahului dengan kalimat di ayat 19-21, “Jangan kumpulkan harta di bumi, tapi kumpulkan harta di surga. Sebab di mana ada hartamu, di situ hatimu berada.” Ke arah mana fokus kita berbasis? Banyak orang Kristen yang pikirannya belum diseberangkan. Padahal jelas sekali Yesus berkata, “Di mana ada hartamu, di situ hatimu berada.” Paulus dalam suratnya berulang kali berbicara mengenai basis berpikir ini. Kolose 3:1-3 mengatakan, “Carilah perkara yang di atas, pikirkan perkara yang di atas, bukan yang di bumi. Sebab kamu telah mati, dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah.”

Dan di Filipi 3:20, Paulus mengatakan, “Karena kewargaan kita adalah di dalam surga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juru Selamat.” Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan orang percaya memang harus berbasis di kehidupan yang akan datang, yakni langit baru dan bumi baru. Di ayat lain, 2 Korintus 4:17-18, “Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tidak kelihatan. Karena yang kelihatan sementara, sedangkan yang tidak kelihatan kekal.” Kalimat berikutnya di 2 Korintus 5:1 mengatakan, “Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di surga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia.” Itu adalah basis hidup di dunia akan datang.

Surat Petrus dalam 1 Petrus 1:3, 4, dan 13 berkata begini, “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang oleh kebangkitan Yesus membawa kita kepada hidup yang penuh pengharapan untuk menerima satu bagian yang tidak dapat binasa, tak dapat cemar, dan yang tak dapat layu, yang tersimpan di surga bagi kamu. Sebab itu, siapkanlah akal budimu, waspadalah, dan letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu penyataan Yesus.” Kurang jelas apa? Yesus berkata bahwa diri-Nya bukan dari dunia ini dan orang percaya juga bukan dari dunia (Yoh. 17:16). Masih sangat banyak ayat Alkitab yang jelas menunjukkan bahwa kehidupan orang percaya atau umat pilihan Perjanjian Baru harus berbasis pada dunia yang akan datang.

Jadi, merupakan penyimpangan atau benar-benar bisa dikatakan penyesatan kalau seorang Kristen tidak berbasis pada dunia yang akan datang atau tidak terfokus pada kehidupan di langit baru bumi baru. Sejatinya, orang Kristen yang terhilang itu bukan saja mereka yang melakukan pelanggaran dan tidak pernah ke gereja, melainkan juga mereka yang tidak suka pulang ke surga. Dia tidak tahu di mana rumahnya. Memang antara pengharapan surga setelah kematian, sementara di bumi masih berbasis dunia hari ini, batasnya tipis dengan yang menjadikan surga sebagai satu-satunya tujuan dan menggerakkan seluruh perbuatannya. Yang pertama belum tentu sudah berbasis dunia akan datang, tetapi masih bisa beragama. Jadi betul, punya pengharapan surga, tetapi basisnya masih dunia hari ini, dan itu dianggap sah. Ini tidak benar, sebab Yesus berkata, “Kamu tak dapat mengabdi kepada dua tuan.”

Orang yang tidak menjadikan Kerajaan Surga sebagai satu-satunya tujuan yang oleh karenanya kita berjuang untuk berkenan kepada-Nya, pasti masih menikmati dunia. Sebab yang masuk ke Kerajaan Allah sebagai anggota keluarga Kerajaan adalah orang yang punya wajah Tuhan Yesus. Separuh wajah Yesus, separuh wajah yang lain tidak bisa. Sejujurnya, kita sudah terlalu jauh menikmati dunia sampai kita tidak sanggup mengerti. Bahkan percaya Tuhan pun juga sejatinya setengah percaya. Kalau kita meyakini bahwa Allah itu hidup, maka kita pasti akan berhati-hati waktu bicara. Kita tidak akan diplomasi, tidak akan pura-pura, tidak akan munafik, karena Allah melihat hidup kita. Inilah yang sekarang kita harus perjuangkan. 

Kalau orang berbasis pada dunia hari ini, ia akan jenuh atau menjadi bosan ketika mendengar khotbah yang berbasis pada dunia akan datang. Dan mereka akan menganggap dan memandang khotbah-khotbah itu sama. Banyak orang tidak mengerti bahwa mereka masih berbasis pada dunia hari ini. Mereka tidak berani menyeberangkan hatinya, mereka juga tidak mampu berpikir bahwa hidup di dunia ini singkat. Seiring berjalannya waktu, dia digerus oleh dunia sehingga karakternya tidak akan pernah terbentuk dengan benar sampai dia mati. 

Banyak orang Kristen yang pikirannya disesatkan oleh pengajaran yang kelihatannya Alkitabiah, namun sebenarnya bertentangan dengan Injil. Injil adalah pengajaran yang berbasis pada dunia yang akan datang, bukan di bumi ini. Ironis, banyak pembicara Kristen menjadikan kehidupan bangsa Israel atau ayat-ayat Alkitab Perjanjian Lama sebagai standar hidup umat Perjanjian Baru. Yesuslah standar hidup umat Perjanjian Baru, bukan doa Yabes, perpuluhan, buah sulung. Bukan tidak boleh, akan tetapi baiklah kita mengurus karakter kita agar menjadi seperti Yesus. Seperti Paulus berkata, “Kalau aku masih mencari perkenan manusia, aku bukan hamba Kristus.”