Skip to content

Penyimpangan Pikiran

 

Dunia kita ini benar-benar semakin rusak dan semakin jahat, seperti yang dikatakan dalam Kitab Daniel bahwa kejahatan manusia akan makin nyata. Orang fasik berlaku fasik. Juga di dalam kehidupan umat pilihan, sebenarnya jauh sekali dari standar yang Allah kehendaki. Standar yang Allah kehendaki adalah kehidupan Yesus sendiri. Kurang dari itu, maka bukanlah Kristen yang benar. Itulah sebabnya kita menyandang julukan atau status Kristen. Karenanya, penting sekali memahami pengertian ajaran monoteisme yang membawa kita kepada kesadaran bahwa kita semua bisa mencapai sempurna seperti Bapa, serupa dengan Yesus. 

Yesus adalah Yang Sulung, yang mengenakan kehidupan Anak Allah, atau yang pertama yang disebut “Man of God” (Manusia Allah), yang belum pernah diraih oleh siapa pun. Yesus mampu bertindak selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah, sesuai dengan kehendak Allah. Dan inilah model manusia yang mestinya terbangun dalam hidup individu sesuai rancangan Allah semula, menciptakan manusia yang segambar dan serupa dengan Dia. Namun sayang sekali, banyak orang yang tidak mengerti dan gagal memahami hal itu, menganggap bahwa kehidupan standar seperti yang Allah kehendaki adalah standar yang tidak bisa dicapai, mustahil dikenakan. Padahal tidak demikian seharusnya. 

Karena orang memandang bahwa kehidupan seperti Yesus mustahil dicapai, maka orang tidak memiliki gairah dan usaha yang sepatutnya untuk mencapai kehidupan seperti yang Allah kehendaki. Kehidupan Yesus adalah kehidupan yang luar biasa, tapi juga tidak bisa dimengerti orang umum atau orang yang hidup wajar. Zaman dulu saja kehidupan Yesus ditolak oleh lingkungan-Nya dan kehidupan murid-murid Yesus juga tertolak oleh lingkungannya. Seperti Yesus dianggap gila, Paulus pun juga dianggap gila. Jika kehidupan kita hari ini benar-benar mau serupa dengan Yesus, bukan tidak mungkin kita juga dianggap tidak waras. Tetapi ketika orang menganggap kita tidak waras, di situlah kita wajar di hadapan Allah, jika kehidupan kita benar-benar seturut dengan kehendak Allah.

 

Ayo, di sisa umur hidup ini, kita berjuang sungguh-sungguh untuk mencapai kehidupan kekristenan yang benar, yang normal, yang wajar di mata Allah. Semakin kita mengenakan kehidupan kekristenan yang benar, kita akan dipandang seperti orang sakit skizofrenia (gangguan mental berat yang biasanya memengaruhi tingkah laku dan emosi seseorang, dan komunikasi dengan orang lain atau dalam interaksi sosial). Dalam dunia psikologi, penderita skizofrenia ini dipandang memiliki halusinasi, delusi, atau kekacauan berpikir, dan tentu ini akan memengaruhi perilakunya; terjadi perubahan perilaku. Pertobatan seseorang akan menjadikan ia memiliki penyimpangan berpikir. 

Dalam kekristenan, kata bertobat menggunakan kata yang paling sering “metanoia,” yaitu perubahan pola berpikir. Kalau pertobatan dalam agama-agama pada umumnya—juga dalam agama Yahudi—dalam bahasa Ibraninya menggunakan kata “Syub” atau berbalik dari tidak melakukan hukum Taurat lalu melakukan hukum Taurat, dari tidak berdevosi, tidak berbakti kepada Elohim Yahweh, kembali berbakti kepada Elohim Yahweh. Ini pertobatan agamani, pertobatan agama Yahudi. Seperti yang dapat kita baca dalam Perjanjian Lama. Kota Niniwe bertobat dalam satu hari bertobat, selesai. Tetapi dalam kekristenan, perubahan pikiran ini bukan terjadi dalam satu ketika saja, tidak ditandai dengan satu titik, melainkan linear seperti garis panjang (Rm 12:2). 

Mendengarkan firman setiap hari membuat seseorang mengalami pertobatan-pertobatan, perubahan pikiran. Maka dikatakan bahwa manusia hidup bukan hanya dari roti, melainkan dari setiap rhema, firman yang keluar dari mulut Allah yang menghidupkan. Dari metanoia ini, jadi paranoia, paranoid, penyimpangan pikiran; seperti orang terkena skizofrenia, gangguan mental berat yang dapat memengaruhi perilaku. Maka tidak heran kalau kita mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh, mendahulukan Kerajaan Allah, kita dipandang oleh manusia yang mencintai dunia, sebagai pengidap skizofrenia. Mereka tidak bisa mengerti mengapa kita begitu. Sebab pertobatan demi pertobatan pasti mempengaruhi tingkah laku kita. Dan perubahan tingkah laku kita semakin hari harus semakin kontras. Tidak bisa dipersekutukan lagi, sebab makin bertentangan, makin bertabrakan dengan cara berpikir anak-anak dunia. 

Tingkah laku kita adalah tingkah laku yang agung, dan dunia tidak bisa mengerti. Yang tadinya gampang meledak, marah, sekarang teduh, bisa mengendalikan dan menguasai diri. Karena memang kalau kita mengenakan pikiran perasaan Kristus, kita bisa menempatkan kapan marah, kapan tidak. Kalau marah pun, marah yang kudus, marah yang konstruktif, yang membangun. Bukan tidak bisa marah, harus bisa marah, tetapi marahnya harus sesuai dengan kehendak Allah. Inilah yang dikatakan sebagai tindakan yang presisi, yang tepat. Kalau kita seharusnya marah, tapi kita tidak marah, itu malah salah. Kalau kita marah, bagaimana kita mengekspresikan marah kita, itu yang pertama. Yang kedua, seberapa temperatur derajat marah kita? Jadi, kalau tingkah laku kita masih sama dengan dunia, berarti ada yang belum beres.